Jika ada badai yang datang dan berusaha menghancurkan seluruh kota ini, maka biarlah terjadi. Malah sebenarnya badai itu memang betulan terjadi, badai itu sangat besar dan memporak-porandakan segala yang ada didepannya. Hanya saja badai itu tidak benar-benar beraksi di kota itu, melainkan didalam kepala si adik. Ya, dirinya sedang dilanda oleh badai yang sangat besar.
Setelah beberapa kali mencoba menghubungi Sina tanpa ada respon sama sekali, dia sama sekali tidak menyerah. Dia terus berusaha untuk mencari cara untuk bisa bertemu Sina. Sina sama sekali tidak menjawab teleponnya. “Mungkin Sina memang beneran marah”, begitulah pikirnya. Mungkin dia bisa bertanya pada teman kerja Sina, tidak bisa dia tidak kenal teman kerjanya. Mungkin dia bisa mencari tahu organisasi tempat Sina bekerja dan mencoba menghubunginya dari sana, tidak bisa dia tidak tahu nama organisasi tempat Sina bekerja. Mungkin dia harus mengunjungi tempat tinggal Sina langsung, pikirnya, tidak bisa dia tidak tahu alamat tempat tinggalnya. Diapun memliki ide, untuk menyelidiki Sina dari internet dan mencari tempat tinggalnya. Mungkin dia bisa meminta tolong kenalannya yang seorang hacker untuk menyelidikinya. Tapi itu melanggar privasi. Lagipula dia bukan kaum barbar seperti Sina yang langsung mendatangi rumah orang tanpa janji terlebih dahulu. Maka diapun mengurungkan ide itu.
Kehabisan pilihan, dan satu-satunya pilihan yang dia punya hanya terus menelepon Sina dan berharap Sina mengangkat teleponnya. Akhirnya panggilan kali ini membuahkan hasil, teleponnya diangkat!
“Halo?” ucap suara dibalik telepon itu, jelas itu suara Sina.
“Hai, halo.” dia tergugup masih tidak percaya teleponnya bakal diangkat.
“Kukira kamu tidak mau berurusan denganku lagi?” kata Sina ketus.
“Bisa kita bertemu?”
“Kukira kamu tidak mau berurusan denganku lagi?” kata Sina mengulang pertanyaannya persis seperti kaset rusak.
“Aku punya urusan denganmu saat ini, aku ingin bicara denganmu.”
“Kenapa aku harus menemuimu?”
“Karena ini penting.”
Suara hening di ujung telepon, sampai akhirnya…
“Baiklah.”
Dan begitulah bagaimana dia bisa berakhir memiliki badai yang melanda kepalanya. Dia duduk di meja samping jendela restoran itu ditempat mereka pernah duduk sebelumnya sambil menunggu kedatangan Sina. Kopi yang dipesannya sudah mencapai dasarnya. Dia sangat gugup karena itulah dia membutuhkan konsumsi kafein yang banyak. Saking gugupnya dia sama sekali tidak bisa duduk tenang menunggunya.
Akhirnya dia melihat Sina lewat jendela. Pandangan mereka saling bertemu, maka Sina tidak perlu mencari tahu dimana lokasi dia lagi. Sina masuk ke restoran itu dan langsung duduk di bangku seberangnya. Dia tampak stylish memakai blazer berwarna cream dengan kancing terbuka, menampakkan kaos putih didalamnya, celana berwarna abu-abu yang dia bahkan tidak tahu terbuat dari apa tapi yang pasti celana itu kuncup menampakkan bentuk kakinya, dan sepetu berhak yang tidak tinggi.
“Hai.” katanya menyapa
“Hai.” balas Sina mata mereka bertemu tapi ada perasaan canggung di antara mereka.
“Terima kasih sudah mau datang, aku sungguh berpikir kau tidak akan mau datang.”
“Jika kamu berpikir aku tidak akan datang, kenapa kamu terus-terusan meneleponku?”
“Kau benar, maaf.”
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”
Dia menarik nafas panjang dan kemudian menghembuskannya. Dia sudah bersiap untuk momen ini, apapun yang terjadi nanti biarlah terjadi. Meskipun badai dikepalanya belum menghilang juga.
“Aku menyesal akan apa yang kukatakan kepadamu terakhir kali kita bertemu. Aku adalah seorang bocah yang tidak tahu apa-apa tentang dunia. Dan aku benar-benar minta maaf, apa kau mau memaafkanku?”
Sina terpana tidak menjawab dan akhirnya mengeluarkan tawa kecil dari mulutnya.
“itu saja? Hanya itu yang bisa kau katakan? Itu permintaan maaf terburuk yang pernah kudengar. Ahahaha.”
Sebenarnya dia berniat berkata lebih banyak, tapi saking gugupnya dia haya itulh kata-kata yang bisa dikeluarkannya. Itu memang buruk. Sangat buruk.