Landscape Juna

Nicanser
Chapter #3

Chapter 2

Kita selalu berakhir pada kalimat gak papa, Padahal nyatanya kita bisa saja jujur tapi pasrah dan tak sanggup berkata.

***

Nila terbangun dengan napas ngos-ngosan saat alarm terdengar nyaring di telinganya.

"Hey putri tidur! Bangunlah, kau tidak berangkat sekolah?" tanya Lembayung saat membuka pintu kamar gadis itu.

Nila memegang jantungnya yang terasa mau copot, dia beralih duduk sambil menatap sekeliling. "Jadi itu cuma mimpi?" lirihnya lalu menatap laki-laki yang memakai seragam di hadapannya.

Lembayung terdiam sesaat, dia mengangguk singkat lantas menutup kembali pintu kamar gadis itu. Dia tidak mau berurusan dengannya lagi dan memilih lebih berangkat sekolah sebelum terlambat.

Merasa diabaikan Nila hanya mengembuskan napas pelan memegang kepalanya yang terasa sakit, kemudian mengambil jam wekernya yang menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit.

"KAK YUN!!! TUNGGU AKU!!!"

***

Nila tidak sempat mandi, dia hanya sikat gigi dan segera pergi ke sekolah dengan jalan kaki.

Sesampainya disekolah dia terlambat dan harus mengendap-endap untuk masuk ke kelas. "Anak-anak hari ini kita ... " Pak Yanto selaku wali kelas terdiam saat melihat Nila yang masuk kelas lewat pintu samping dengan langkah yang pelan.

"Nila, nanti ikut saya ke lapangan ya," ucapan Pak Yanto membuat pergerakan gadis itu terhenti. Semua mata jadi tertuju padanya.  Sambil cengengesan, Nila menggaruk tengkuknya.

"Silahkan duduk di kursi kosong," sambung Pak Yanto pada seseorang.

"Baik." Hanya kata itu yang mampu membuat jantung Nila berpacu dengan cepat. Dengan pelan matanya bergeser untuk melihat pemilik  suara.

Saat mereka saling menatap satu sama lain, napasnya bahkan hampir mau habis.

"Rasanya Dejavu," batinnya.

Laki-laki itu berjalan ke arah Nila hingga jarak mereka semakin dekat, seketika dia langsung menghalanginya mengunakan tangan, Nila takut kalau Juna akan melukainya seperti mimpinya semalam tapi itu diluar dugaan, saat pikirannya jauh berkelana, si rambut cepak itu malah beralih duduk di tempat duduknya, tepat di samping Nila berdiri.

Perasaannya jadi campur aduk antara malu dan takut, tapi mampu membuatnya jadi merasa legah.

Suara teguran dari wali kelas mengalihkan perhatiannya dan segera beranjak untuk menemui hukumannya.

Sepanjang proses berlari mengelilingi lapangan basket, pikirannya bahkan tidak lepas dengan sosok mengerikan Juna, orang yang dia tahu tidak sekolah malah menjadi murid pindahan di sekolahnya, sangat tidak masuk akal untuknya. Dia tidak tahu harus bagaimana jika hari-harinya bertemu orang psycopat sepertinya.

"Sadarlah itu hanya mimpi, kenapa aku sampai menyangkut pautkan hal tidak berguna!" gumamnya. Rambut panjang sampai sebahu itu sempat melengket di wajahnya karena keringat. Saat hendak menyingkirkannya, samar-samar seseorang mendatanginya dengan menahan pergerakan tangannya.

Lihat selengkapnya