Pergi tempat bertanya
Pulang tempat berkabar
Penyelesai yang kusut
Penjernih yang keruh
“Uda, bangunlah!” tangis perempuan berbaju kurung basiba (pakaian sehari-hari perempuan Minangkabau) itu semakin tersedu-sedu, setelah Pakiah, saudara Sina satu-satunya yang saparuik (saudara kandung), menyuarakan kalimat innalillah.
“Ikhlaskan si Sati, Ina,” lirih Amnar sambil membelai pundak perempuan yang baru saja menyandang status janda beranak satu.
“Nar, apa salahku sehingga Tuhan tega mengambil Uda Sati dariku? Kau lihat, shalat, baca Al-Quran, berdoa, dan berdzikir tak luput aku kerjakan barang sedetik. Terkadang bosan aku memuji-Nya berkepanjangan. Sementara Dia, tetap saja mendatangkan kesengsaraan dalam hidupku. Muak aku!” bentak Sina seraya melemparkan tilakuang (mukena) ke lantai bambu rumah gadang nan bagonjong.
“Astaghfirullah! Mandeh, tidak boleh berucap demikian. Nanti malah membuat Allah semakin murka. Ini ujian dari-Nya. Mandeh harus sabar, harus tabah,” sanggah Mariani, anak tungga babeleang (anak tunggal) dari Sina dan Sati. Sebenarnya, sebelum melahirkan Mariani, Sina pernah mengalami keguguran dua kali. Sepuluh tahun setelah menikah, ia berhasil menjadi seorang ibu. Namun sayang, bayi perempuan itu terlahir ke dunia sudah dalam keadaan tak bernyawa. Berbagai prasangka buruk dilontarkannya kepada Tuhan. Betapa beruntungnya Sina memiliki suami yang setia menumbuhkan kembali semangatnya untuk menjadi seorang ibu dan mengubah paradigma negatifnya terhadap Sang Khalik. Tiga tahun kemudian, bayi perempuan lahir kembali sebagai hadiah atas ketaatan suami-istri tersebut. Mereka memberi nama Mariani.
Pakiah yang sedang duduk bersila di samping beranda rotan dimana onggok badan Sati terbujur, hanya menekur.
Ketika nyawa sudah di tenggorokan, beribu mohon pun diucapkan tak akan membuat hati-Nya luluh atau iba. Itulah kematian. Setiap yang bernyawa di muka bumi ini akan melewati proses itu. Perihal waktu yang akan membedakan. Jua mudah atau sukarnya tergantung pada apa yang dikerjakan selama ruh masih menyatu dengan raga. Sudah lima kali Sina menonton pertunjukkan kematian dari orang-orang terkasihnya. Hanya sekejap mata, mereka pergi dengan tenang dan tentram. Seolah surga telah menanti kedatangan mereka. Mulai dari Iyak Sarijam;1938, Inyiak Mangkuto;1944, Mak Amah;1951, Abak Uddin;1959, dan terakhir Uda Sati;1968.
“Ina, tolong ambilkan topi sebo biru Uda di laci lemari kamar depan,” pinta Sati.
Sina termangu. Tak biasanya lelaki yang sudah berpuluh tahun seatap dengannya itu suka mengenakan topi. Dalam gelimangan tanya, ia tetap mengambilkan benda yang diinginkan suaminya. “Ini, Uda,” Sina melepas genggamannya dari topi itu.