Jika suatu saat tidak ada perempuan lagi dalam suatu kaum
Maka putuslah tali keturunan
Hari pertama musim panen padi tahun ini tentu saja disambut dengan wajah bersemangat oleh seluruh masyarakat di jorong Kanagarian Sungai Pua. Tapi, tidak dengan Sina. Peristiwa sadis yang dialaminya membuat ia kehilangan etos kerja. Teriakkan histerisnya menggemparkan warga Limo Kampuang.
“Anak gadisku…” Sina mendapati Mariani yang sudah menjadi mayit. Onggok badan pucat dan bengkak itu mengapung di permukaan sumur kali yang sudah ada sejak pertama kali keluarga Sina menempati rumah ini. Sumur itu memiliki kedalaman kurang lebih tiga meter. Tanpa atap atau penutup. Hanya ada tiang dari kayu tempat mengaitkan galuak dengan katrol.
Dahulu, setiap kali Abak Udin dan Mak Amah ke parak, Sinalah yang bertugas menggantikan Mak Amah mengurus Pakiah yang lasak. Terhitung kurang lebih lima kali dalam sehari Pakiah bermain dan berlari-lari di sekitar sumur. Tak jarang tubuh mungilnya itu hampir nyemplung ke dalam sumur. Syukurnya, Sina yang tengah sibuk dengan urusan dapur selalu datang tepat waktu dan mencegah adiknya sebelum peristiwa naas itu terjadi.
Usia akan menjadi hal yang paling misterius selamanya. Sebagai manusia, logika Sina tak bisa menangkap kronologi dari peristiwa yang telah menimpa putrinya. Diselidikinya lantai sekitar sumur yang beralaskan tanah. Tidak licin meskipun semalam diguyur hujan deras. Sina semakin yakin bukan lantai penyebabnya. Lalu apa? Atau jangan-jangan ada seseorang yang dengan sengaja telah mencelakakan putrinya. Bisa saja orang itu meloncati dinding kamar kecil yang tak beratap. Sina terus mengemukakan kepada logikanya berbagai kemungkinan di balik peristiwa ini. Namun, tak satu pun yang menguatkan, sebab tak ada barang bukti yang jelas dan saksi atas peristiwa ini selain sumur tua itu. Kalau saja sumur tua itu bisa berbicara layaknya manusia, tentu dia akan bersaksi.
Sina menyadari betapa sia-sia ia larut dalam sesuatu yang hanya diketahui oleh Yang Maha Melihat. Apapun penyebab kematian putrinya, dengan keikhlasan, ketabahan, dan kesabaran Sina menerima ketetapan Allah terhadap putrinya. Hanya menerima yang bisa dilakukan dengan status manusia sebagai “hamba”. Tidak bisa protes sekalipun menantang.
Pinta yang selalu diutarakan Sina di setiap doa-doanya sudah diterima oleh Yang Maha Mendengar. Nama Mariani tidak mengisi urutan ke-6 sebagai daftar orang-orang terkasih yang menghembuskan nafas terakhir di depan matanya. Tapi, Allah menjawab dengan balasan yang lebih pedih lagi. Ya. Berita buruk pagi ini: Penemuan Mayat Anak Kadung oleh Seorang Ibu.
Dengan pikiran yang masih amburadul Sina mendatangi Datuak Tungganai, salah satu kepala suku setempat. Maksud kedatangannya tak lain adalah untuk memberi kabar tentang kematian putrinya.
“Maaf Uni Rasinah kalau kedatanganku terlalu pagi,” Sina berusaha menenangkan diri. “Ada kabar yang hendak kusampaikan kepada Datuak,” perempuan yang tengah dirudung kemalangan itu tak ingin tergesa-gesa menyampaikan kabar duka yang sedang menimpanya.
“Tunggulah sebentar. Beliau masih di surau. Ini, makanlah kerupuk kiambang sembari menanti pelepas dahaga. Saya tinggal dulu ke belakang,”
Bersamaan dengan kembalinya Rasinah dan membawa tiga kopi kawa daun di atas nampan, seorang lelaki berkupiah hitam memasuki rumah itu dan mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam. Lama sekali rapatnya, Uda,” balas Rasinah kemudian ia berbalik ke arah Sina, “itu Datuak sudah pulang,”
“Ada persoalan penting yang harus dibahas dan dituntaskan segera,” Datuak melirik ke arah Sina, “sudah lama kau di sini, Ina?” tanya Datuak Tungganai.
“Belum terlalu lama, Datuak. Mariani, anak tunggalku dan almarhum Uda Sati meninggal Datuak. Ketika aku akan menyauk air dari sumur, aku mendapatinya sudah tak bernyawa di dalam lubang sumur itu,”