Tyas memandangi sobekan koran di tangannya, senyum simpul terukir di wajah yang tampak agak lelah itu. Bak terhipnotis, ia nyaris tidak mendengar bunyi sendok dan piring beradu lembut di hadapannya.
“Melamun terus, apa kerennya sih dengan koran usang itu?” celetuk Dian yang duduk di samping Tyas sambil mencomot bakwan yang ada di tengah meja.
Tyas menghela napas, terdengar seperti keputusasaan dengan sedikit harapan. “Kamu tidak tahu rasanya merelakan mimpimu, ya?”
Dian hampir tersedak. Terbentur apakah kakaknya yang cuek dan suka memanjat pohon ini sampai tiba-tiba menjadi puitis?
“Tyas, Tyas,” sang ibunda yang kebetulan berdiri di sampingnya untuk meletakkan sepiring tempe bacem lantas menggeleng kecil. “Simpan sobekan koran itu di sakumu atau di mana pun, sekarang makan dulu.”
Tyas yang raut wajahnya masih sama pun mau tak mau akhirnya menyimpan kertas lusuh itu di sakunya, gerak yang lambat menandakan keterpaksaan untuk berhenti meratap atau ibunya akan membuang kertas itu.
Tak lama, para anggota keluarga yang lain turut bergabung di ruang makan. Dari lima bersaudara, Tyas merupakan anak tengah yang katanya punya beban paling berat karena sering terlupakan.
Ah, apalah mitos itu, Tyas tidak begitu peduli.
“Anak ini,” todong Ivan, si anak kedua dengan gayanya yang agak sangar. Ia menggunakan kaos oblong dan sarung keramatnya, entah sudah berapa hari menempel di badannya yang agak gelap itu. “Lemas sekali seperti kanebo basah.”
Tyas yang mulai risi hanya melirik di ujung mata. “Dasar kerupuk mentah.”
“Tutup panci!”
“Kadal goreng.”
“Gorila hamil!”
“Hey, hey, hey,” sambil berkacak pinggang, sang ibu mengetuk-ngetuk meja dengan sendok sayur dari kayu, seolah memberi ultimatum bahwa benda itu akan melayang ke kepala siapapun yang masih ribut di meja.
Untungnya usaha itu berhasil.
Di ruang makan redup yang menyatu dengan dapur itu, Ivan sengaja mengambil kursi yang berhadapan dengan Tyas. Di sana, ia masih menjulur-julurkan lidah tanpa suara, tapi entah mengapa sangat berisik di telinga Tyas. Sang adik melempar tatapan ngeri sembari memutar bola mata, "memang kadal goreng."
“Mbak ke mana?” tanya Dian setelah beberapa kali celingukan, mulutnya masih penuh bakwan.
Ivan mengangkat satu kakinya. “Biasa.”
Dian berdecak ringan. “Pacaran terus.”
Di saat-saat seperti ini, Tyas biasanya akan langsung menyemprot Dian dengan mengatakan bahwa ia hanya iri karena tidak ada yang mau dengannya, lalu mereka memulai pertengkaran rutin di meja makan. Akan tetapi, kini Tyas nampak acuh. Dian yang menyadari perubahan sikap kakaknya pun berpikir bahwa mungkin ia sedang menahan kentut.
Perempuan muda itu tampak tak banyak bicara—bahkan tidak bicara sama sekali—hingga selepas makan. Tidak ada acara menjambak rambut Dian yang tengah lahap makan atau saling cibir dengan Ivan. Ia buru-buru bangkit untuk mencuci piring sebelum meninggalkan ruang makan yang masih terdengar ramai di balik bahu, seolah tidak begitu peduli dengan kepergiannya.
Tyas menyingkap tirai bermotif batik merah yang terlihat lawas untuk masuk ke dalam kamarnya yang sedikit lembab. Kondisi terpantau sudah aman, pikirnya, diraihlah kembali sobekan koran yang sejak tadi ia simpan.
Embusan napas panjang. Respons yang sama tiap kali matanya membidik gambar di atas kertas itu.
Koran dengan bekas minyak itu didapat ketika hari pertama Tyas menginjakkan kaki di bangku kelas 3 SMP. Ia sangat ingat suasana ketika bel berbunyi begitu cepat dan kebetulan guru baru ini rumornya adalah yang paling galak di sekolah. Tempat sampah yang tiba-tiba hilang tak lantas membuat Tyas melempar benda di tangannya begitu saja. Disakulah koran bekas alas jajanan itu sembari buru-buru kembali ke kelas, pipinya menggembung menampung weci utuh. Tampaknya memang sudah ditakdirkan, Tyas lupa membuang koran yang ada di sakunya hingga pulang sekolah.
Di sinilah pemantiknya. Ketika pulang, seragam yang mulanya hendak dimasukkan ke dalam keranjang untuk dicuci malah memuntahkan sesuatu ketika tak sengaja dibawa dalam posisi terbalik. Sebuah sobekan koran menari-nari di udara sebelum akhirnya jatuh ke tanah, menjajakkan bekas minyak di saku seragamnya.
Kedua netra Tyas menangkap cepat objek yang paling menonjol di sana. Sesuatu yang ia impikan, ambisi yang dikejar mati-matian sejak dulu.