Sebagai ketua OSIS, dia terkenal disiplin dan galak. Namun, diam-diam peduli. Hobinya menyindir dan ikut campur urusan orang lain yang masih berkaitan dengan sekolah.
"Dari mana lu?" tanya Langit menangkap lengan Varin—sekretaris OSIS yang sudah mendampinginya beberapa bulan ini.
"Dari kantin. Kenapa?"
Langit mengamati cewek berambut pendek itu seraya menaikan satu alis. Membuat Varin sedikit risi. Untungnya, koridor IPA selalu adem ayem tanpa manusia-manusia yang suka senggol sana senggol sini sehingga tidak membuat Varin dan Langit terganggu.
Tidak seperti koridor IPS.
"Ada apa, Langit?"
"Clare, mana?"
"Gak tau. Gue ke kantin sendiri. Kenapa, sih?"
"Nggak. Gue gabut."
Varin menelan ludah kemudian tersenyum getir. Bersiap pergi membawa roti coklat di tangannya. Namun, kembali terhenti saat Langit menginterupsi.
"Varin."
Varin memundurkan langkah, menatap Langit sabar.
"Pulang sekolah anter gue ke toko kue," pinta Langit.
Tidak ada yang bisa dilakukan Varin, kecuali mengangguk malas. Setelahnya, diam, Varin tak berniat membuka suara lagi. Meski begitu, ia masih berdiri di depan Langit, takut bila cowok itu kembali memanggilnya.
"Ngapain masih di sini? Udah sana! Keburu roti lo meleleh," suruh Langit datar.
Varin berdecih.
"Lucu?" Lalu melenggang pergi meninggalkan Langit yang semakin merasa gabut.
Di kondisi genting seperti ini, maksudnya di saat tidak ada kerjaan, Langit selalu kesulitan mencari sesuatu untuk dilakukan. Proposal-proposal pekerjaan OSIS memang banyak yang perlu dibenahi, tetapi dia bosan. Langit ingin melakukan hal yang lain.
Sekali lagi dia tidak tahu harus melakukan apa.
Mata coklatnya memindai area sekolah. Koridor IPS terlihat gaduh dan ramai. Cukup membuat dirinya iri. Langit tidak punya teman baik, sekalipun ada, dia adalah Angga anak IPS 4. Jika ingin bermain dengan anak itu maka dia mesti menghampiri koridor gila IPS Lunar.
Sangat memuakkan.
"Bang Langit!"
Kepala Langit berbalik menatap seseorang yang berlari ke arahnya. Cowok bermata tipis dengan tubuh tinggi yang juga merupakan salah satu anak basket itu memasang senyum lebar di depan Langit.
"Bang, gue punya penawaran seru buat lu," kata cowok itu menyebabkan Langit memandangnya tanpa ekspresi.
"Mon," panggil Langit, "kalau sampe penawarannya gak menarik, gue tonjok perut lo satu kali. Kalau penawarannya menarik, gue jitak pala lo satu kali."
"Lah si Lalapo. Ngapa jadi gitu, dah?" Monki tampak tak terima. "Gak jadi kalau gitu."
"Kalau gak jadi, gue tendang dada lo satu kali."
"Bang, jangan gitu, dong, ELAHHH!" Monki benar-benar tak habis pikir dengan orang di depannya ini.
"Jadi?"
Sebelum menjawab pertanyaan Langit, Monki terlebih dahulu berteriak membebaskan diri dari rasa takut akan pukulan, jitakan, atau tendangan dari Langit. Karena bagaimanapun, Langit ialah anak karate sabuk hitam, sekali pukul, jitak, atau tendang rasanya pasti akan sangat nikmat.
"Kita ngopi di warkop." Monki tersenyum lebar.