Varin membuka kotak makannya. Melirik teman-teman di sebelahnya yang juga melakukan hal yang sama, kecuali Langit. Dia mencatut salah satu roti bakar isi coklat, lalu menyodorkannya pada Langit. Pemuda itu menaikan satu alis seolah bertanya maksud Varin.
"Buat lo," kata Varin setelah menghela napas pendek.
Tanpa pikir panjang, Langit menerimanya. Jam istirahat anak-anak pengurus OSIS memang selalu makan bersama di ruang OSIS. Dilanjutkan dengan pembahasan seputar kegiatan sekolah yang akan dilakukan.
Langit sang ketua, Gara wakil ketua, Varin sekretaris I, Chelsea sekretaris II, Clare bendahara I, Jeno bendahara II, Ratna, dan seksi-seksi lainnya kerap kali menghabiskan waktu di ruangan ini dibanding menongkrong di kantin atau taman. Lebih nyaman dan privasi.
"Lo yakin bakal aktifin ekskul itu lagi, Lang? Dulu juga gak ada yang minat. Cuma ngabisin anggaran doang," celetuk Jeno di tengah keheningan.
Langit menenggak air putih. Lalu, menatap Jeno sekilas.
"Thanks," ucapnya pada Varin.
Langit melihat ke arah Jeno lagi. "Kenapa harus gak yakin? Sekarang ini banyak orang Indonesia yang kuliah atau kerja di Jepang. Di Lunar kita bisa liat Monki sama gengnya yang wibu itu. Anak-anak kelas sepuluh juga banyak yang suka Jejepangan. Lo pasti tau Risa, kelas sepuluh yang jadi cosplayer anime dan aktif ikut event. Dia punya minat yang tinggi sama Jepang bukan cuma cosplay, tapi juga bahasa."
"Tau dari mana Risa minat belajar bahasa Jepang? Cosplaying anime bukan berarti suka belajar bahasa Jepangnya juga." Jeno kembali menyahuti.
Seketika Langit tertawa kecil. Membuat orang-orang di sekitarnya keheranan. Meski Langit memang sering bersikap di luar perkiraan, tetap saja mereka belum terbiasa.
"Risa itu sepupu gue. Sebelum Monki bilang pengen aktifin ekskul bahasa Jepang, Risa lebih dulu bilang gitu." Jawaban Langit membungkam Jeno.
Terlihat anak-anak lain tidak berniat nimbrung. Pengecualian bagi Gara yang sekarang mulai mengelap bibirnya dengan tisu sehabis menyelesaikan sandwich-nya. Dia menatap sekeliling.
"Anggarannya gak akan terlalu besar, kecuali kalau buku-buku pelajarannya ditanggung sekolah. Anggaran itu paling cuma buat guru pembimbing yang tentu kita datangkan dari luar karena gak ada guru Lunar yang bisa bahasa Jepang."
"Satu lagi, Gar, renovasi ruangan ekskulnya juga. Soalnya, udah lapuk," serobot Lionel.
"Gak di kelas aja? Pulang sekolah kelas kosong. Mereka bebas pilih mau kelas mana." Chelsea ikut memaparkan pendapat.
"Kasian njir nomaden."
Sementara yang lain berdiskusi, Langit masih terdiam mempertimbangkan satu per satu pendapat yang dikemukakan teman-temannya. Buku catatan bersampul biru ia keluarkan dari laci meja. Ia mulai mencatat beberapa hal.
Varin mendekat ingin tahu yang sedang ditulis Langit. Garis-garis, kalimat acak, dan beberapa angka. Ah, Varin tak mau ambil pusing. Jadi, dia kembali fokus pada argumen teman-temannya.
"Gar, ntar gue mau ke ruangan Bu Fazira. Gue minta tolong lo sama yang lain periksa laporan Ratna. Soalnya, besok sampe beberapa hari ke depan Bu Fazira ke luar negeri."
Gara mengangguk seraya mengacungkan jempol tangannya. Sementara Langit bangkit dari duduknya. Ia sedikit merapikan rambut. Lantas mengambil buku catatan.
Melihat itu, Varin mendongak seraya mengulurkan botol air mineral baru yang sedari tadi ia simpan di dalam tas kepada Langit.
"Buat lo."
"Biasanya pelit," celetuk Langit.