Langit Biru

Faldhy Dwi B.
Chapter #1

#1

Langit biru, adalah nama yang ibu nya berikan. Seorang anak dengan mata sayu. Dengan rambut gondrong tak beraturan, juga lirik-lirik lagunya yang ia ciptakan. Tentang banyak hal yang tidak ia mengerti. Ia pergi menyusuri sebuah bukit dan tebing tinggi. Hanya gitar kayu yang ia bawa, sambil di temani suasana hatinya yang sunyi, ia seperti menemukan cahaya. Di bawah awan, ia menyanyikan sebuah lagu, tentang seorang anak perempuan bernama Satira. Tentang kerinduan kepada Bapak ibunya. Tentang alam, buku dan waktu. Janggutnya tebal tak terurus. Kemeja kotak-kotak adalah favoritnya. Dengan celana jeans lusuh ia duduk, memandang sesuatu di atas tebing. Kisah cintanya rumit dan kini, ia menikmatinya.

Menjadi dirinya sendiri adalah cita-citanya. Tak ada yang lebih penting dari itu. Walaupun penyesuaian itu penting, ciri khas atau sesuatu yang unik pada diri manusia tak akan pernah berubah. Kini usianya sudah 27 tahun dan akhirnya ia memutuskan untuk menyandarkan diri dengan takdir. Walau hanya sebentar, Ia selalu rindu bersahabat dengan angin dan semua pemandangan indah yang kini ada di depan matanya. Kangen dengan api unggun dan kayu yang rela terbakar untuk menghangatkan malam. Atas segala macam teka-teki arah langkahnya, ia berjuang, dari titik nol merangkak ke tujuh, lalu ke 0 lagi. kemudian perlahan mencapai titik satu, dua hingga menjadi yang terhingga. Langit biru, putra pertama dari Bapak Edy dan Ibu Alenya .

2015, Langit adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan Seni Rupa. Begitu banyak lukisan di kamarnya. Gaya surealis adalah ciri khasnya dalam melukis. Kehidupanya sangat sendu, di kala itu. Orang tuanya meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Tepatnya. beberapa bulan setelah ia lulus SMA. Yang kini, masih terasa. Banyak hal yang berubah, dari sosok yang menyenangkan, kini menjadi seorang yang sering merenung. Tak terbuka dan sangat pendiam. Ia habiskan waktunya dengan kuas dan pik. Bagian poni rambut depannya menutupi khalisnya yang tipis. Ia seperti bersembunyi di balik luka. di balik trauma. di balik masa lalunya. Jalannya menunduk, sambil memasukan kedua tangan ke saku jaket jeansnya.

Ia kini hanya sendiri, merawat adik perempuannya dirumah. Dengan warisan yang seadanya, sebuah rumah kayu kecil dan motor klasik. Kuliahnya terganggu karena urusan biaya, Ia bingung. Baginya perubahan itu abadi, Ia harus bertahan hidup di tengah hiruk pikuk dan kebisingan ekonomi. Biaya sekolah adiknya tidaklah murah. Yang ia punya hanyalah motor klasik milik ayahnya. Tak banyak hal yang ia bisa lakukan, taruhannya ia tetap kuliah atau adiknya nya yang meneruskan sekolah. Masa depan baginya adalah misteri. Kini ia harus memutar otaknya. Kehidupannya dinamis, geraknya monoton. Warnanya monokrom.

***

Satira Jingga. Ketika itu ia sedang ada di titik terproduktif sepanjang masa hidupnya. Berkegiatan dibanyak komunitas, berprestasi di banyak bidang. Perempuan cantik dengan rambut panjang sebahu yang sering kali diikat ekor kuda. Lehernya tampak jenjang serta mata yang tajam penuh ambisi. Ditambah sebuah tahi lalat kecil di pipi sebelah kirinya yang membuat dirinya tampak lebih manis.

Suatu sore disebuah coffee shop berlogo siren berlatar hijau, tertulis nama satira di segelas Green tea Latte ukuran sedang. Jari-jari dengan kutek bening sedang mengetik seraya earphone putih yang menggantung di telinga. Kemaja putih yang dipadupadankan dengan celana kulot gelap, membuat tampilannya negitu elegan apalagi di tambah dengan jam kayu yang menempel di lengan kirinya. Ia sedang banyak membuat rencana, entah karna ada niatan untuk menjadi segala bisa atau hanya atas alasan menunjukan dirinya mampu. Dia mendengarkan sebuah lagu dari cd album yang baru saja dibelinya, sambil tersenyum. Ada rasa yang asing, bisa jadi cinta, kagum atau mungkin iri.

Hidupnya tidak pernah memiliki pengalaman tak mampu, selalu saja di kelilingi dengan kebercukupan. Pada dasarnya, manusia justru memiliki kecenderungan untuk selalu membutuhkan apa yang tidak pernah dimilikinya. Pada kasus satira, yang tidak pernah dimiliki tentunya bukan persoalan harta, atau bahkan bahasan seputar kasih sayang. Dia bukan seorang anak broken home seperti kebanyakan cerita-cerita anak orang kaya yang punya segalanya akan tetapi kehadiran orangtuanya tidak pernah ada. Orang tuanya supportif. Pa Dandi dan Bu Alina begitu sayang pada anak-anaknya, Satira dan kakanya, Kelana. Kehidupan mereka terlalu sempurna untuk memunculkan konfliknya akan ada dimana.   

Jurusan bisnis dan manajemen. Sudah jelas bahwa ini adalah anjuran orang tua Satira. Anak dari seorang ayah yang usahanya mengarah pada konglomerasi dengan core bisnis keuangan, properti dan multimedia. Satira memiliki seorang ayah yang terkenal. Tapi bagi nya, jurusan apapun itu tidak jadi masalah karena yang terpenting adalah bagaimana bisa optimal dibidang yang ditekuni. Lagi pula sejauh ini prosesnya tetap menyenangkan, me-manage orang jadi kesenangan yang amat sangat bagi satira dan sekolah bisnis sangat bisa memuaskan kebutuhannya itu. Hal tersebut sejalan dengan cita-cita Satira yaitu ingin menjadi seorang yang sangat sukses dibalik suatu bisnis tertentu walaupun bidangnya sendiri masih dia cari.

Ia sering kali berangkat ke kampus di antar oleh ayahnya yang nyentrik atau beberapa kali juga membawa mobil sendiri. Penampilannya terlalu luar biasa. Jika dibuat adegan slow motion, rambut sebahunya yang terurai terhempas perlahan oleh angin ketika dia turun dari mobil mewahnya, mobil BMW varian 320i terbaru berwarna putih begitu mewah tapi tetap tampak begitu kuat dan sporty. Pakaiannya yang relatif sederhana tampak begitu eksklusif, hanya kaos putih polos dengan celana jeans dan sneakers (walaupun memang bermerk terkenal). Membawa beberapa buku. Terlihat cerdas. Berjalan begitu tegap penuh dengan kepercayaan diri. Sangat wajar dengan penampilan seperti itu ia sering kali menjadi model hingga sangat terkenal di dunia maya, followers nya sudah bisa menyaingi para selebgram.

Cerita tentang satira tetap saja harus ada konfliknya biar seru. Hal itu muncul dari pandangan orang-orang sekitar. Eksklusifitas Satira muncul dari stigma orang lain padahal dirinya sendiri merasa biasa saja. Lingkaran disekeliling nya menganggap Satira sulit di tembus. Hanya beberapa orang yang bisa menembusnya dengan mudah. Ada Selly, Gino, beberapa teman yang lain, Harum dan juga… Langit. Kecerdasan Satira membuatnya jadi lebih sering menggunakan logika dari pada perasaannya, lebih banyak bertimbang dari pada menikmati setiap rasa pada setiap prosesnya. Hanya kesukaannya terhadap musik saja barangkali yang bisa sedikit menyeimbangkan pemikiran logisnya. Kehidupan Satira penuh dengan ambisi, cahaya, begitu cerah, hangat dan positif.

Lihat selengkapnya