Langit Biru

Faldhy Dwi B.
Chapter #2

#2

“ Bapak tidak setuju pokonya kalo kamu masuk jurusan Seni Rupa, mau jadi apa kamu ini? Jangan pernah sia-sia kan kesempatan dan waktu, walau hanya 5 menit. Bapak ini hidup lebih dulu dari kamu, Bapak tau apa yang terjadi di negara kita ini. Negeri ini sakit, Waraskan pikiranmu, Langit. Sadarlah kesana. Walaupun Bapak hanya pegawai kantoran, tapi bapak berhasil untuk membangun keluarga kecil ini, menyekolahkan kalian dan memberikan keberlangsungan kehidupan untuk keluarga ini “

Pak Edy namanya, Bapaknya Langit dan Harum. Ia keras dalam mendidik anaknya. Ingin mereka tumbuh dengan nilai-nilai dunia.

Ibu pernah bilang padaku, bapak sempat beberapa kali di PHK dan menganggur. Setiap hari bapak kerja serabutan untuk mencari uang. Dan, Bapak sangat menysukuri sekarang bisa kerja lagi. Ia tak mau menyianyiakan kesempatan itu. Makanya Bapak galak kalo soal masa depan. Aku tau, itu semua untukku, untuk keluarga ini. Namun, … Sudahlah. tidak banyak hal yang aku ingin katakan pada Bapak. Aku tidak mau menghancurkan suasana makan malam ini. Kasian nasi dan ikannya, nanti nangis. Aku menghargai orang tuaku, juga Harum Adiku. Memilih untuk diam, adalah jalan keluar.

2010, Tahun dimana aku harus memilih sebuah jurusan di sebuah kampus. Aku keterima di dua universitas, dua jurusan, Hubungan International dan Seni rupa. Ibu melihatku dengan mata yang penuh kasih sayang “ Salat aja dulu gih sana, minta doa sama Allah, biar di kasih petunjuk, jangan lupa doain Bapak dan Ibu juga. Ibu Sayang sama Langit “ Aku cuma menganggukan kepalaku saja. lalu ingin berniat pergi, namun ku habiskan makan malam dulunya deh. Aku mencintai ibu.

***

Akhir bulan ini Ka Kelana akan pulang dari Jerman.

Sedang kuliah S2 dirinya di sana. Seorang jenius yang aku kira benar-benar tanpa celah. Perawakannya tidak seperti stigma orang-orang tentang seorang kutu buku, badannya tinggi tegap, murah senyum namun berwajah tegas dengan alis yang begitu tebal. Jika bukan karnanya, aku tidak akan seambisius ini. Rivalitas kakak-adik sangat wajar kan, tapi untungnya ini perselisihan yang sangat sehat. Kita bertoleransi bahwa setiap anak pasti punya kelebihannya masing-masing. Sampai kapanpun aku tidak bisa seberprestasi dia di bidang sains, dan dia juga tidak akan bisa seluwes itu jika harus berbicara di depan umum sepertiku. Dan pemikiran terbuka ini secara jelas atas andil ayah dan ibu.

“Ra, ayah selalu saja membahas tentang bidang manajemen dan bisnis. Ku kira kau tau arah pembicaraannya kemana?”

“Ingin kamu masuk jurusan itu kali ka” sore hari dipinggir kolam. Sudah biasa kita berbincang berdua. Teduh karna banyak pepohonan dan sejuk karna anginnya begitu segar. Ada gemericik air juga karna kakiku masuk ke kolam dan memainkannya. Ka Kelana duduk di kursi dekat kolam.

“Kalau dari ibu gimana?”

“Sesantai biasanya lah,terserah ku asal aku suka” ada raut yang seperti kebingungan. Sikapnya itu bisa merusak suasana. Ka Kelana selalu seperti itu kalau sedang bimbang.

Aku sangat tau kalau Ka Kelana tidak pernah suka bidang yang digeluti ayahnya. Ka Kelana pantasnya memang jadi seorang ilmuwan, dia sangat menikmati bidang sains lebih dari siapapun di rumah ini. Entah turunan dari siapa.

Pada saat itu aku juga sadar bahwa nantinya aku akan se-galau Ka Kelana juga. Bingung antara passion dan harapan orang tua. Resah antara harus membahagiakan diri sendiri atau membahagiakan mereka. Ayah dan Ibu.

Ibu pulang.

Tiap bulannya dia selalu menghadiri acara arisan dengan ibu-ibu komplek. Dia punya semacam geng yang beranggotakan 17 wanita seumurannya, aktivis komplek lah. Tapi tidak terlalu se-sosialita itu.

Lihat selengkapnya