Di apartemennya, suara ketukan pintu terdengar. Ia bersiap untuk membuka tetapi obrolan kecil yang terdengar dari beberapa orang dibalik pintu itu menahannya. Ia menangguhkan tangannya yang hendak meraih gagang pintu untuk membukanya. Sejurus kemudian ia memicingkan matanya di lubang intip pintu apartemennya. Ada setidaknya 5 orang polisi dengan seragam lengkap berada di luar yang ia lihat. Saat itu juga degup jantungnya langsung berlari kencang. Ketukan pintu berikutnya terdengar lagi. Sama kerasnya seperti ketukan sebelumnya. Kali ini ia persis di balik pintu itu dan sepertinya ia tidak punya pilihan selain membuka, minimal menanyakan apa maksud kedatangan mereka tanpa berpikir lebih jauh akan hal menakutkan lain yang akan terjadi.
“Konnichiwa. Selamat siang. Kami dari Kepolisian Kota Fukuoka, kami membawa surat perintah untuk meminta Anda ikut bersama kami ke kantor polisi saat ini juga.”
“Untuk apa? Ada masalah apa?”
Polisi dengan seragam lengkap itu menjelaskan singkat dan menyerahkan surat perintah pada pemuda itu.
“INI FITNAH KEJI! Saya tidak mungkin menyuruh dia berbuat seperti itu.”
“Anda tidak perlu menjelaskan apapun sekarang. Cukup ikuti kami ke kantor sekarang lalu Anda bisa menyampaikan apa yang Anda ketahui secara lengkap di sana. Mari ikut kami.” Polisi itu hendak meraih lengan pemuda itu.
“Tidak!” Ia mengibaskan tangan polisi itu.
“Jika Anda menolak maka kami bisa melakukan pemaksaan dan Anda mungkin akan lebih dicurigai lagi. Jika Anda bisa kooperatif kami akan perlakukan dengan baik dan membantu Anda sampai proses ini selesai.”
Ia terhenyak sejenak. Dalam pikirannya, jika ia menolak mungkin situasi akan lebih rumit ke depannya. Mungkin cara terbaik adalah ia ikut dan bekerja sama. Toh, tidak ada yang perlu ditakutkan karena ia sama sekali tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan.
“Apakah ini akan lama?”
“Kami tidak tahu, ini semua tergantung seperti apa nanti informasi yang Anda berikan.”
***
Deru mesin jet pesawat yang awalnya berbunyi ringan kini kian bergemuruh dan hingar bingar. Orang-orang mulai duduk bersandar mencari posisi yang nyaman untuk memulai perjalanan yang cukup panjang. Reyhan duduk di kursi paling dekat dengan jendela di bagian tengah, hampir sejajar dengan sayap pesawat. Ia menengok ke arah luar melalui jendela kecil. Gelapnya malam ikut menyelimuti pemandangan di sekitar landasan pacu (runway). Para pramugari sudah duduk sedari tadi tetapi wajah mereka masih saja mendongak. Mata mereka yang jeli memperhatikan gerak-gerik penumpang yang ada di depan mereka, memastikan semua orang pada posisi sedia untuk lepas landas. Menjelang tepat tengah malam, pesawat sudah mendapat izin untuk mengudara. Beberapa terlihat orang mengambil waktu sejenak untuk berdoa termasuk Reyhan. Setelah selesai berdoa, ia membuka matanya dan memandang ke luar jendela pesawat yang harus tetap dibiarkan terbuka selama lepas landas. Hanya kerlap kerlip lampu yang jelas ia tangkap ketika pesawat itu masih berjalan langsam. Namun, tak lama kemudian cahaya lampu itu pun menghilang. Burung besi itu akan membawanya ke tempat asing nan jauh untuk memulai episode belajar yang baru dalam hidupnya.
Ia menarik kopernya keluar dari gedung bandara sambil mengikuti calon mahasiswa lain yang datang hampir bersamaan. Universitas menyediakan penjemputan dari terminal internasional bandara Fukuoka menuju Asrama Internasional Kashiihama, tempat mereka memulai hidup baru di kota itu. Dari wajah dan perawakannya, beberapa orang yang berjalan bersama menuju lokasi bus jemputan terlihat dari Asia. Saat itu, Reyhan tidak melihat calon mahasiswa lain yang datang bersamaan dari Indonesia. Mungkin memang tidak ada di hari itu tapi di hari lainnya. Kampus menyediakan rentang waktu sekitar satu pekan untuk masuk ke asrama sehingga kedatangan calon mahasiswa tidak bertumpuk di satu atau dua hari saja.
Saat hendak melintasi jalan menuju lokasi bus yang terparkir persis di area depan pintu keluar bandara, lampu merah menyala. Mereka yang hendak menyebrang harus menunggu sejenak di sisi jalan. Di samping Reyhan, tampak ada satu keluarga muda dengan anak perempuan yang kurang lebih berusia 4 tahun. Seorang sosok bapak terlihat sedang menerima panggilan telepon sambil tangannya tetap memegang troli yang berisi barang-barang mereka. Percakapannya dengan lawan bicaranya terdengar cukup serius. Istrinya yang berdiri tepat di sampingnya asyik melihat-lihat media sosial di ponselnya. Tanpa menghiraukan kedua orang tuanya itu, seorang anak berlari-lari kecil dengan riang mengelilingi bapak dan ibunya sambil memegang bola karet di tangannya. Gadis kecil itu juga menyelinap di antara troli orang-orang di sekitarnya seakan sedang bermain petak umpet. Ia seperti sedang menikmati hidup di dunianya sendiri. Reyhan memperhatikan tingkah gadis kecil ini, ia tersenyum melihat kelakuan lucunya meski hanya bermain seorang diri.
Bus shuttle antar-jemput bandara tampak mendekat ke arah mereka dari kejauhan. Bus itu akan langsung melintas karena saat itu lampu masih merah bagi pejalan kaki. Ketika bus itu berjarak sekitar 20 meter dari tempat penyebrangan, tiba-tiba bola yang dimainkan anak kecil jatuh dan menggelinding ke badan jalan dengan cepat. Tanpa mengetahui bahayanya, anak itu seketika berlari mengambil bola miliknya kembali. Beberapa orang sadar dan terkejut melihat kejadian itu tapi Reyhan lah yang saat itu posisinya paling dekat dengan anak itu. Meski bus sudah mengurangi lajunya ketika berpapasan dengan orang ramai, saat itu jaraknya sudah sangat dekat dan sulit untuk dielakkan. Reyhan dengan reflek melangkah menyusul anak itu yang sudah hampir di tengah jalan. Ia menarik anak itu ke arah pelukannya dan kemudian mereka berdua terguling ke pinggir jalan. Beruntungnya sopir bus itu sigap mengerem mendadak dan membanting stirnya ke arah kanan sehingga tidak menabrak Reyhan dan anak kecil itu.