Sebuah notifikasi email masuk di ponsel Reyhan.
Dear Reyhan,
Bagaimana kabarmu saat ini? Saya dengar kamu sudah sampai di Fukuoka ya? Di mana tempat tinggal saat ini, apakah benar di Asrama Internasional Kashiihama?. Senin besok silakan datang ke lab di Gedung 4 lantai 3, Fakultas Pertanian pukul 9 pagi. Saya akan kenalkan kamu dengan anggota lainnya di seminar mingguan lab kita. Setelah itu, kamu bisa melihat lab dan berdiskusi tentang risetmu nanti. Semoga kamu bisa beradaptasi dengan baik di Jepang.
Tertanda,
Kenji Yamada
Ia menerima email dari sensei atau profesor pembimbingnya untuk datang ke lab, Senin nanti. Ini berarti studi masternya di Jepang akan segera dimulai. Perjalanan panjang selama dua tahun ke depan sudah terbayang di depan mata. Reyhan akan mengambil studi master Bioteknologi dengan spesialisasi di bidang Genetika di bawah bimbingan Prof. Yamada.
Ponselnya kemudian berdering untuk kedua kalinya. Kali ini suara adzan yang terdengar dari aplikasi yang terpasang di ponselnya. Suara lantang azan dari speaker Masjid kini akan jadi hal yang ia rindukan di tanah rantau. Itu ternyata suatu kemewahan yang justru baru dirasakan sekarang. Di negeri dengan muslim sebagai minoritas ini, Reyhan merasa dirinya harus belajar banyak tentang kedisiplinan dalam menjalankan kewajiban agamanya. Kondisinya memang tidak semudah ketika di Indonesia yang jika waktu salat tiba, azan bersahut-sahutan dan hampir tidak ada kesulitan untuk menemukan Masjid untuk beribadah. Makanan halal pun ada di mana-mana. Kini Reyhan punya tantangan untuk menyesuaikan diri di tempat yang baru. Tidak ada yang akan melihat selain yang Maha Melihat. Tidak ada yang tahu selain yang Maha Mengetahui.
Selepas salat, tubuhnya ia rebahkan di kasur. Lagu dari Motohiro Hata Himawari no Yakusoku (Janji Bunga Matahari), salah satu lagu kesukaannya yang ia putar, terdengar sayup-sayup. Matanya rasanya kian berat menahan kantuk. Tidak lama kemudian ia terlelap.
***
Lepas Ashar, rumah panggung tua itu kembali riuh. Biasanya hanya seorang Kek Basri yang tinggal di dalamnya. Tidak banyak suara-suara karena ia tinggal sendiri sejak ditinggal istrinya 5 tahun lalu. Jika bukan suara mengaji yang merdu terdengar dari luar rumahnya, ada suara radio tua kesayangannya yang mengusir keheningan rumah itu. Radio itu diletakkan di atas meja kayu yang warnanya sudah usang, tergantung pula peta dunia terbitan lama berukuran satu meter panjang dan setengah meter lebarnya. Tepat di samping meja itulah kursi tempat Kek Basri mendengarkan siaran radio yang ia tunggu-tunggu tiap harinya. Benda kecil yang membuat kek Basri tahu tentang banyak berita, mulai dari krisis ekonomi sampai panas dinginnya politik dunia.
“Kek, kemarin kan sudah selesai cerita tentang Belanda. Hari ini ayo ceritakan kami tentang zaman Jepang dulu!” Amir, anak berkopiah cokelat meminta dengan wajah setengah memelas. Ia menggamit lengan kek Basri.
“Iya, iya Kek,” tiga anak lainnya ikut merayu sambil merengek.
Inilah bagian terseru dari belajar mengaji dengan Kek Basri yang mereka tidak dapatkan di TPA masjid.
“Baiklah kalau begitu. Kakek tak ingat banyak tentang zaman Jepang. Kakek dulu pernah merasakan jadi tenaga kasar untuk menebas rumput di lahan yang akan digunakan tentara Jepang untuk membuat bandar udara. Bandar udara pertama di pulau ini. Di sela-sela kelelahan itu kami yang bekerja berdekatan berbisik. Indonesia pasti merdeka! Jerih payah kita ini akan jadi milik kita nantinya. Kita sudah mengusir Belanda dan kita juga akan mengusir Jepang dan bangsa lain yang datang menjajah kita.”
“Apa yang kita usahakan ini tidak sia-sia, insyaallah.”
Itulah mengapa meski tak diupah sama sekali, kakek dan beberapa kawan menemukan semangat entah dari mana untuk mengerjakan hal itu. Biasanya kami hanya mendengar deruan pesawat yang terbang melayang di langit, kadang bahkan tak sampai melihat wujud aslinya. Jika bandara sudah ada di pulau kecil ini, mungkin kami bisa melihat secara langsung bagaimana kecerdasan manusia membuat sebuah burung besi raksasa dan bisa terbang menembus langit.”
“Jadi kakek dan kawan-kawan pernah terbang dengan pesawat udara?”
Kek Basri tersenyum.
“Belum. Dari sejak bandara itu mulai dibuka hingga saat ini tapi,”
“Yah, tapi apa kek?” Reyhan penasaran.