Langit Cinta Kota Fukuoka

A. FADHIL
Chapter #7

Prinsip #1

Setelah memarkir sepedanya, seorang laki-laki bertubuh agak besar melangkah tergopoh-gopoh menaiki tangga menuju pintu masuk perpustakaan sentral kampus Hakozaki. Ia kemudian naik ke lantai dua sambil menyandang tas berwarna hitam dan berjalan menuju ruang meeting 2. Jam tangan yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan kalau ia sudah terlambat. Meski begitu, ia berharap belum ada yang datang dan menunggunya. 

Di ruang meeting 2, Reina dan Celine tampak berbincang akrab sembari menanti datangnya Fandi, ketua divisi sosial dan beasiswa yang akan memimpin rapat sore itu. Sementara itu, Reyhan dan Adian duduk bersebelahan tapi sama-sama diam mematung, tidak ada interaksi satu sama lain. Reyhan sudah menyapa dan mencoba memulai dengan obrolan ringan, menanyakan kabar dan kesibukan saat ini tapi Adian hanya menjawab dingin. Raut mukanya menandakan ia tidak suka Reyhan ada di sampingnya. Melihat gestur itu, Reyhan memilih untuk diam saja, tidak berusaha mengajak Adian ngobrol lagi.

Sesampainya di ruangan, Fandi sedikit terkejut karena melihat semua orang yang ia undang sudah hadir. 

Uh, udah pada lama di sini?” Fandi bertanya dengan napas masih tersengal-sengal sambil menutup kembali pintu ruangan.

“Udah jam berapa ini mas. Ini udah jam 4 lewat. Jam 4 kan kita jadwalnya mulai bukan baru mau mulai lo,” balas Reina, gadis yang berkerudung cokelat.

“Iya deh, maaf maaf. Masih kebawa janjian ala Indonesia nih,” jawab Fandi.

Nggak semua orang Indonesia suka telat juga,” sambung Adian, salah satu yang sudah lebih dulu ada di ruangan itu.

“Iya deh diralat. Maaf-maaf,” ujar Fandi.

“Yuk kita mulai aja biar selesainya juga nggak kesorean,” ucap Reyhan.

“Oke, baik. Langsung aja ya. Makasih sudah datang sebelumnya Reina, Celine, Adian dan Reyhan. Celine, kita baru pertama ketemu ya hari ini. Saya Fandi, yang kirim pesan di whatsapp kemarin. Makasih ya udah berkenan bantu kami untuk acara Global Village nanti.

“Sama-sama Mas, salam kenal semuanya,” ucap Celine sambil tersenyum melihat ke beberapa orang di ruangan itu.

“Di awal, saya ingin menyampaikan kalau kegiatan fundraising di acara nanti adalah bagian dari kegiatan besar di divisi sosial dan beasiswa yaitu bantuan sekolah untuk anak SD-SMP yang secara ekonomi tidak mampu di Indonesia. Sumber dananya ada dua, pertama dari donatur tetap, kedua adalah dari hasil kegiatan wirausaha kita, seperti yang akan kita lakukan. Kalau untuk donatur kita sudah ada konsep dan saat ini juga sedang berjalan meskipun ada sedikit kendala. Para donatur tetap kadang lupa dan kita pun nggak enakan nagih setiap bulannya. Kalau diberi opsi untuk membayar sekali di awal rasanya terlalu besar. Tapi, untuk rapat kali ini kita tidak akan membahas itu, kita akan lebih fokus merencanakan soal kegiatan wirausaha di tanggal 1-2 Mei nanti. 

Alhamdulillah kita dapat jatah satu stan di acara Global Village. Lokasi acaranya di taman sentral Tenjin, area Tenjin Chuo. Di kesempatan ini, kita akan memaksimalkan pengumpulan dari dari jualan barang-barang khas Indonesia, selain sebagai bagian promosi budaya Indonesia tentunya. Tim ini fokus di dana usaha saja, untuk logistik, seni, dan humas semuanya sudah ada yang menghandel, jadi jangan khawatir. Kalau kita butuh bantuan dari mereka nanti kita bisa sampaikan.”

“Itu tanggalnya sudah fix, Mas?”

“Sudah. Tanggal 1 dan 2 Mei, hari Sabtu dan Minggu. Bukan di hari kuliah kok, jadi kita bisa full di sana. Nah, langsung saja ya, ada ide nggak apa yang bisa kita jual nih?” Fandi memantik diskusi.

“Suvenir gimana mas?” Reina melempar ide.

“Yang khas Indonesia gitu ya? Belinya berarti di Indonesia ya? Apa nggak akan kemahalan kalau dikirim ke Jepang,” tanya Fandi.

Lihat selengkapnya