Pukul 7 pagi, taman Tenjin Chuo yang jadi lokasi acara hari itu sudah mulai ramai. Taman itu letaknya begitu strategis dan mudah diakses. Lokasinya berada di tengah kota dan di depan sebuah gedung megah ikonik di Fukuoka, ACROS. Gedung ACROS adalah sebuah bangunan dengan konsep bangunan hijau (green building) di pusat kota. Pintu utamanya berupa segitiga sama kaki yang menjulang tinggi, ada dalam sebuah kotak segi empat. Daya tarik gedung gitu sebenarnya adalah atapnya yang hijau lebat seperti hutan. Atapnya terdiri dari 15 lantai yang dapat dinaiki satu persatu. Sisi-sisinya penuh ditanami tumbuhan yang menutupi hampir 70 persen dari fisik bangunan jika dilihat dari depan.
Beberapa orang tampak sibuk dengan aktivitasnya. Pak Soni dan Pak Andang, mahasiswa doktor, yang hari itu menjadi tim logistik, ikut membantu mengantar peralatan masak, bahan-bahan, dan segala kebutuhan stan. Aby dan Risnanto serta yang lain sudah ada yang berangkat terlebih dahulu dan sedang menata stan bersama tim masak, Reyhan, Fandi.
Stan PPI Fukuoka tepat di antara stan jajanan India dan kebab turki. Pukul 8 pagi semuanya sudah siap. Reyhan jadi chef kepala dibantu oleh Reina sementara pagi itu banyak sekali bantuan tenaga dari teman-teman lain di PPI. Tim promosi dari PPI Fukuoka aktif menyebarkan informasi kegiatan itu dari jauh-jauh hari, salah satunya dengan menghubungi para pekerja magang (kenshusei) dan masyarakat Indonesia yang ada di sekitar prefektur Fukuoka. Kerinduan akan kampung halaman dan masakan khasnya akan jadi daya tarik ampuh untuk membuat banyak orang Indonesia mampir dan membeli dagangan mereka. Tidak hanya itu, pengunjung pada acara Global Village ini juga dapat menikmati banyak penampilan seni dari peserta, termasuk dari pelajar dan masyarakat Indonesia.
Tim seni yang digawangi oleh Riza dan Amel bersiap menampilkan seni angklung dan tari saman. Untuk angklung, lagu yang dibawakan ada dua. Yang pertama lagu Ue no muite arukou dipopulerkan oleh Kyu Sakamoto tahun 1961. Lagu ini kemudian ikut populer di Amerika namun dengan judul Sukiyaki, judul populernya di sana. Karena judul aslinya, Ue no muite arukou, terlalu sulit diucapkan oleh orang Amerika, akhirnya dinamai dengan kata Jepang yang mungkin paling populer saat itu di sana, sukiyaki. Sukiyaki sebenarnya adalah nama untuk makanan khas Jepang yang disajikan dalam wajan panas (hot pot) yang terdiri atas daging sapi yang diiris tipis bersama sayur-sayuran, jamur dalam kuah saus kedelai serta bumbu lainnya. Isi lirik lagu tersebut yang memuat tentang seorang yang mencoba tegar dan tetap berjalan meski dalam kesedihan dan kesendirian. Tidak ada hubungannya hubungannya isi lirik lagu tersebut dengan makanan sukiyaki yang jadi judul populernya.
Lagu lainnya yang dibawakan tim angklung adalah lagu Bengawan Solo, karya sang maestro Gesang tahun 1959. Banyak orang Indonesia yang mungkin tidak menyangka lagu Gesang ini populer di Jepang, bahkan Jepang masih membayar royalti untuk lagu ini. Masih cukup banyak generasi tua di Jepang yang tahu lagu itu dalam lirik Jepangnya. Salah satu pendapat mengapa lagu Bengawan Solo populer di Jepang adalah karena masyarakat Jepang menyukai lagu bertemakan alam. Mungkin saja itu benar karena alam di Jepang memang indah dan mengundang orang untuk mengejawantahkannya ke dalam senandung.
Bengawan Soro
Bungawan Soro, hate shinaki
Bengawan Solo, tak berujung
Kiyoko nagare ni kyou mo inoran
Mengalir menjernihkan hari ini pun berdoa
Bungawan Soro, yume oki
Bengawan Solo, bertabur impian
Sachi no hi tate tomoni utawan
Merayakan hari bahagia, mau bernyanyi bersama?
Seinaru kawayo waga kokoro no haha
Sungai yang suci, hatinya ibu kami