Langit Cinta Kota Fukuoka

A. FADHIL
Chapter #9

Prinsip #3

“Baiklah, hasil dari rapat evaluasi kali ini, dana yang terkumpul dari kegiatan Global Village kemarin dan juga donasi tetap akan mulai disalurkan ke 70 murid melalui perwakilan kita di masing-masing daerah. Koordinator untuk ini Saya dan Dita, dari bendahara PPI. Apa ada pertanyaan?” Fandi melihat ke setiap orang yang hadir saat itu.

Sebagian menggeleng dan diam.

“Oke terima kasih untuk dedikasinya, mudah-mudahan dana yang tersalurkan ini bisa bermanfaat untuk adik-adik kita. Sampai ketemu lagi di acara selanjutnya. Sejauh ini kita belum punya jadwal kecuali Kyudaisai (Festival Universitas Kyushu) di bulan September nanti. Dua bulan sebelumnya kita akan adakan pembentukan panitia kecil seperti ini lagi, kalau berminat bisa ikut lagi,” tutup Fandi.

Interaksi selama acara amal PPI Fukuoka itu menyisakan sesuatu pada seorang gadis. Ia diam-diam menaruh rasa kagum pada Reyhan setelah acara itu. Hanya saja, dia belum punya keberanian untuk mengungkapkannya. Sebenarnya ia sedang menunggu komitmen dari laki-laki yang dulu sempat mendekatinya semasa kuliah S1. Dirinya hanya mengatakan untuk datang ke rumah menemui abahnya jika memang serius. Namun sampai kini, setelah hampir setahun pemuda itu tak kunjung datang ke rumahnya bahkan juga tidak menghubunginya lagi setelah itu. Gadis ini menangkap suatu respon yang aneh dari pria itu, apalagi setelah mendengar ia akan melanjutkan studinya setelah lulus kuliah master tahun ini. Padahal, baginya kesempatan untuk menempuh jenjang doktor sangat terbuka lebar karena Profesornya masih membutuhkan orang yang fokus meneruskan topik riset yang ia teliti. Bahkan, pembimbingnya bersedia memberi beasiswa mandiri jika tidak bisa memperpanjang beasiswa MEXT, beasiswa yang diterimanya saat ini. Gadis itu tentu tidak ingin menyia-nyiakan peluang yang ada di depan mata ini. Lagipula, meraih gelar doktor merupakan salah satu impiannya.

“Status master apalagi nanti seorang doktor membuat laki-laki banyak yang mundur teratur.” 

“Jangan kuliah tinggi-tinggi, nanti keasyikan dan lupa menikah.”

Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau cuma kerja jadi ibu rumah tangga saja.”

Itu sederet ucapan miring yang sering kali ia dengar jika melihat seorang perempuan lajang ingin sekolah tinggi. Sungguh tak masuk diakal bagi gadis ini. “Apa yang salah dan apa yang ditakuti dengan seorang perempuan yang berpendidikan tinggi?” Harusnya itu jadi sesuatu yang membanggakan karena perempuan itu bisa jadi seorang ibu dengan wawasan yang luas. Perempuan dengan pendidikan yang tinggi bukan lantas jadi ancaman untuk pria, kecuali jika pria menganggap perempuan tersebut sebagai saingan bagi dominasinya dalam keluarga, bukan sebagai partner yang setara. Pertanyaan-pertanyaan itu kadang muncul dan hilang dalam kepalanya. Namun, ia juga menyadari kalau perkara itu memang yang selalu jadi batu sandungannya ketika ada yang berniat untuk berkenalan dan memutuskan untuk ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan. Hal yang selalu ada dalam benak Reina adalah betapa indahnya kalau nanti menemukan seorang yang bisa mengerti dan mendukung keputusannya, lebih lagi jika orang itu juga punya visi dan pemikiran yang sama. 

“Meski saat ini masih buram tapi ia tetap ingin berprasangka baik kalau suatu saat dia akan Allah kirimkan." Reina bergumam dalam hati.


Di saat yang lain berkemas-kemas mau meninggalkan ruangan itu, Reyhan bertanya pada Fandi soal rencana kuliahnya.

“Mas, katanya beasiswa pemerintah Jepang MEXT itu lebih mudah ya kalau mau langsung lanjut S3?” tanya Reyhan.

“Yang aku dengar sih gitu” respon Fandi “Kenapa?” 

“Wah enak ya berarti nggak perlu pusing-pusing mikir untuk nyari beasiswa lagi kalau mau S3”

“Iya. Kalau mau lanjut S3 juga?” tanya Fandi.

“Belum 100% yakin saat ini. Kalau Mas Fandi?”

“Aku sih ingin lanjut lagi sebenarnya, lebih mudah gitu soalnya, tapi untuk kasusku perlu persetujuan dari kantor dulu. Itu yang sulit”

Reyhan manggut-manggut.

Reina spontan menyela percakapan Reyhan dan Fandi. 

“Kenapa kalau laki-laki yang mau lanjut S3 itu mudah saja ya? Enggak perlu pusing-pusing memikirkan apa yang nanti komentar miring masyarakat tentang dia. Beda banget kalau perempuan yang sekolah tinggi sampai S3, apalagi dia lajang. Ramai sekali komentar ini itu dari orang-orang. Jangan sekolah tinggi-tinggi nanti laki-laki akan takut. Cemen!” Reina tak bisa menyembunyikan wajah gusarnya.

Mendengar celetukan itu Fandi dan Reyhan saling melirik satu sama lain. Mereka kaget dan bingung menanggapi apa yang Reina ungkapkan.

“Takut gimana maksudnya?” Reyhan dengan nada hati-hati bertanya.

“Ya mundur teratur setelah dengar ada perempuan mau kuliah master dan rencana lanjut sampai doktor,” jelas Reina.

Hmm, sulit menjawab pertanyaan ini sebetulnya. Persepsi setiap orang bisa beda-beda tergantung cara pandangnya.” 

“Kalau kamu sendiri, keberatan jika nanti pendidikan calon istrimu doktor sementara kamu cuma master?”

Hmm, ya nggak sih.” Reyhan terlihat agak ragu. Ia melihat wajah Fandi, senyum tawar tersungging sambil kepalanya menggeleng. 

Lihat selengkapnya