Langit Cinta Kota Fukuoka

A. FADHIL
Chapter #12

Hikmah Dari Masa Lalu #3

Tidak lama kemudian, rombongan KUFSA beranjak dari tempat itu dan berjalan menuju situs selanjutnya, monumen perdamaian. Ketika Reyhan hendak pergi bersama rombongan, langkahnya tertahan saat mendengar seorang pemandu yang sedang menjelaskan sesuatu yang menarik kepada rombongan yang ada di sampingnya. Beberapa orang dari rombongan itu tampak berwajah kaukasia kulit putih dengan aksen bahasa Inggris yang sangat mudah dikenali kalau mereka dari Britania Raya. Di antara rombongan itu, ada beberapa orang lagi tampak berwajah Jepang ikut menemani. Seorang pria menjelaskan panjang lebar tentang tentang situs itu dan juga situs Katedral Urakami. Dari gaya bahasa dan penampilan, orang yang sedang menjelaskan panjang lebar itu pasti tampaknya bukan seorang pemandu wisata biasa. Apa yang ia jelaskan tampak begitu dalam untuk sekadar pengunjung yang hanya ingin tahu sekilas tentang sisa-sisa peninggalan yang ada di sekitar situs tersebut. Dari salah satu orang di rombongan itu, Reyhan sekilas membaca tulisan di belakang jaketnya, Union Seminary. Tepat seperti dugaan Reyhan sebelumnya, orang-orang tersebut bukan turis biasa. Mereka tampaknya sebuah rombongan dari sekolah keagamaan yang sedang melakukan study tour di Nagasaki.

Perhatiannya kemudian teralihkan oleh sebuah pertanyaan dari salah seorang dalam kelompok itu.

“Saat ini apa agama mayoritas penduduk Jepang? Apakah Kristen?” Seorang gadis dengan rambut pirang mengenakan kaos merah bertanya.

Hmm, sebenarnya sulit menjawab pertanyaan ini. Kalau melihat dari jumlah tempat ibadah maka mungkin jawabannya ada Shinto atau Buddha kemudian baru Kristen. Namun di Jepang, uniknya, tidak semua yang datang ke kuil Shinto adalah pengikut dan mengaku dirinya beragama Shinto, begitu juga Buddha. Bahkan kadang di antara orang Jepang sendiri mereka sulit membedakan antara mana ritual Shinto dan mana ritual Buddha. Sebagian memiliki altar ibadah untuk kedua agama tersebut di rumah mereka. Bukan hal yang tabu di Jepang untuk ikut merayakan hari raya Shinto, Buddha, dan Kristen,” ujar seorang laki-laki paruh baya yang sejak tadi menjelaskan panjang lebar.

“Bagaimana bisa?”

“Dari sisi historis, Kristiani memiliki sejarah yang panjang dibandingkan agama besar lain di Jepang, selain tentunya Buddha yang sudah masuk lebih awal. Secara umum anggapan tentang Kristiani pun cukup positif dan diterima di masyarakat Jepang. Namun, ini sama sekali tidak berkorelasi dengan orang yang secara yakin mengakui diri mereka seorang pengikut Kristen, yang jumlahnya hanya 0,8% saja dari seluruh penduduk Jepang. Ada cukup banyak peneliti yang memuat topik ini dalam ulasan-ulasan mereka. Mungkin lebih tepatnya orang Jepang kebanyakan tidak menganggap mereka harus terikat kepada satu jenis agama dan menafikan lainnya. Ritual agama lebih dianggap sebagai sebuah budaya yang inklusif atau terbuka dibandingkan sebagai ritual yang eksklusif dan khusus untuk penganutnya. Di samping itu, agama juga bukan merupakan identitas yang penting dan esensial bagi orang Jepang kebanyakan karena, kembali lagi agama dan keyakinan adalah perkara private seseorang.

Sebagian juga beranggapan masyarakat Jepang umumnya akan lebih mengedepankan harmoni dalam kehidupan mereka sehingga tidak terjadi gesekan. Ini bisa juga disebabkan karena Jepang adalah negara dengan satu ras yang sama sehingga sedikit perbedaan dalam masyarakat akan sangat mudah tampak dan dirasakan oleh anggota masyarakat lain. Oleh karena itu, semua orang cenderung ingin terlihat sama, karena perbedaan akan dipersoalkan dalam kehidupan sosialnya.

Dalam istilah peneliti antropologi, masyarakat Jepang dianggap human relationship-oriented society atau masyarakat yang berorientasi pada hubungan harmonis kepada sesama manusia. Sedangkan yang lebih memilih kebenaran, menurut mereka, dibandingkan hubungan sesama manusia disebut principle-oriented. Agama sering dianggap membatasi kebebasan hidup mereka karena penuh dengan aturan ini itu. Tidak hanya itu, kebanyakan agama juga memiliki konsep kebenaran yang absolut hanya ada dalam ajaran mereka atau jalan keselamatan hanya bisa dengan menjadi pengikut agama tersebut. Para misionaris masih menganggap sangat sulit membuat orang Jepang pada umumnya menerima konsep agama sebagaimana kita di Barat. Jadi, meskipun Kristen memiliki sejarah yang mengakar di masyarakat Jepang, sampai hari ini agama ini masih dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari asing atau Barat. Pengikutnya kerap kerap beri label yang negatif dan dikucilkan dari masyarakat karena berbeda dengan orang Jepang lainnya.”

Reyhan sejak tadi dengan hikmat mengikuti penjelasan dari pemandu itu. Ia sengaja tetap tinggal untuk mendengar penjelasan itu. Dari apa yang ia dengar, muncul dalam pikirannya, 

“Mengapa konsep agama seperti yang ia yakini seakan tidak cocok untuk kultur masyarakat Jepang? Jika Kristen saja demikian, bagaimana dengan Islam? Bagaimana awal mula Islam datang dan disebarkan di Jepang dan apa sebenarnya yang menjadi tantangan bagi dakwah Islam di negeri ini?” 

Setelah dipantik oleh penjelasan tadi, pikirannya terus sambung-menyambung seakan api yang memakan sumbu yang basah oleh minyak. Tak lama kemudian, Reyhan teringat kalau rombongan sudah jauh meninggalkannya menuju ke situs berikutnya. Langkahnya kemudian bergegas menuju monumen perdamaian.


***


Sebuah patung dengan ketinggian 10 meter di ujung utara taman perdamaian (heiwa no koen) sudah tampak menjulang dari ujung jalan. Patung besar itu seperti seorang laki-laki berperawakan kekar dan dada yang bidang dengan selendang yang menutupi sebagian tubuhnya. Ia duduk di atas sebuah batu. Rambutnya tergerai sebahu, tangan kanannya menunjuk ke atas sedang tangan satunya diangkat sejajar bahu mengarah ke sisi kiri. Menurut Seibo Kitamura, pembuatnya, gestur tubuh dari patung itu memiliki makna yang dalam. Tangan kanannya yang menunjuk ke atas itu mengartikan arah datangnya bom atom sementara tangan kirinya yang terentang melebar ke samping dan telapak tangan yang terbuka lebar adalah simbol kedamaian. Mimik mukanya dibuat seperti orang yang sedang berdoa bagi korban perang. Kaki kanannya yang terlipat saat duduk dan kaki kirinya yang terbuka menandakan simbol meditasi dan menolong orang lain. Namun, jika pengunjung hanya sekilas melihat, tidak banyak dari mereka yang dapat mengasosiasikan makna-makna luhur tersebut yang ingin disampaikan pembuat patung itu.

Meski patung perdamaian itu memang tampak mencolok dari kejauhan, di sepanjang jalan menuju simbol utama taman itu juga ada banyak patung yang didonasikan dari berbagai negara untuk dikenang sebagai simbol perdamaian. Salah satu di antaranya patung perunggu yang menggambarkan seorang ibu yang sedang mengangkat bayinya, donasi dari negara Czechoslovakia tahun 1980. Beberapa orang langsung mengabadikan momen di tempat itu. Berangsur-angsur orang-orang mulai memadati area monumen utama. Setelah hampir semua orang dari rombongan sudah ada di taman itu, suara dari pelantang terdengar.

“Oke, kita sudah di monumen perdamaian dan di sini kita akan ambil foto untuk dokumentasi KUFSA dan akan diunggah di media sosial kita. Jadi yang keberatan boleh langsung ke bus, yang ingin ikut foto bisa langsung merapat. Setelah foto, kita akan sama-sama jalan ke bus,” ucap Ling salah satu staf KUFSA dari Cina.

Reyhan masih tersengal-sengal. Ia hampir tidak bisa ikut sesi foto bersama itu. Selepas itu, ia baru menyadari, sejak dari lokasi hypocenter ia tidak melihat Yuka sampai saat ini ketika rombongan sudah akan kembali ke bus. Ia tidak bisa memungkiri kalau sejak bersitegang dengan Adian tadi, pikirannya justru mengkhawatirkan Yuka. 

Lihat selengkapnya