Langit Cinta Kota Fukuoka

A. FADHIL
Chapter #13

Hikmah Dari Masa Lalu #4

Selesai menyantap makanan, beberapa mahasiswa muslim berinisiatif untuk salat di taman dengan menggelar sajadah dan alas seadanya. Umum sekali di Jepang, setiap taman punya akses air bersih dan toilet yang memadai bahkan kadang bisa langsung diminum. Mereka memilih salat di taman karena taman tempat umum yang luas, kemungkinan besar tidak akan ada yang terganggu.

“Adian, kami mau salat di taman. Mungkin mau ikut?”

Heh, jangan sok suci dan alim. Urus urusanmu sendiri dan kita belum selesai,” ujar Adian dengan muka gusar. Ia kemudian berlalu dari hadapan Reyhan.

Astagfirullah," Reyhan bertanya-tanya mengapa Adian jadi begitu membenci dirinya terlepas dari kesalahpahaman yang terjadi.

“Ayo Rey, yang lain sudah menunggu,” Haekal memanggil temannya itu untuk merapat ke jemaah yang sudah siap salat. 

Reyhan, Haekal, Pak Heru, Abdelmalek serta beberapa mahasiswa muslim lain pun salat di bawah pohon di bagian yang rata untuk bersujud. Saat itu, sepasang mata dari kejauhan memperhatikan mereka dengan penuh kebencian namun sepasang mata lainnya memperhatikan dengan penuh kekaguman. Hatinya terasa damai melihat itu. Ia bertanya dalam hatinya kapan ia akan siap untuk itu. Entahlah, ada sesuatu yang masih mengganjal di pikirannya tentang itu.

Tujuan selanjutnya berjarak 10 menit berjalan kaki dari taman itu, melewati Museum Seni Prefektur Nagasaki. Sebuah pulau yang dikenal dengan nama. Dejima, secara harfiah diartikan pulau luar. Tempat ini memiliki cerita sejarah yang panjang tidak hanya bagi politik Jepang dengan dunia luar namun bagi perkembangan agama di Jepang yang sampai saat ini masih sangat bisa dilihat, khususnya di Nagasaki. Ini adalah tempat yang dulunya sengaja dibangun untuk mengasingkan pendatang baik bangsa Portugis maupun Belanda saat penguasa ketika itu melihat keberadaan bangsa asing membawa banyak pengaruh yang tidak baik untuk masyarakat lokal Jepang. 

Sepotong pulau itu memiliki luas 9000 meter persegi yang pertama kali sengaja digunakan oleh Shogun Tokugawa Iemitsu, panglima militer pada zaman samurai, untuk mengisolasi pedagang Portugis dan mencegah penyebaran agama yang dibawa oleh mereka. Misinya untuk menjalin hubungan internasional dan perdagangan bangsa Portugis selalu sejalan dengan penyebaran agama Katolik. Menurut catatan sejarah, rombongan Portugis pertama kali singgah di Jepang secara tidak sengaja di sebuah tempat bernama Tenageshima pada tahun 1543. Ini pertama kalinya bangsa Eropa menjalin kontak dengan Jepang. Pada masa itu, kedatangan bangsa Eropa membawa sesuatu yang sangat menarik perhatian para penguasa lokal, Daimyo. Benda itu adalah arquebus, senapan api manual yang jadi cikal bakal senapan modern kini. Barang itu jadi incaran para penguasa di zaman feodal Jepang karena kondisi sosiopolitik sedang dalam perang saudara atau era sengoku. Peperangan terjadi di banyak wilayah dan senjata yang mumpuni adalah sesuatu yang dapat menambah kekuatan pihak yang bertikai. Itu menjadi salah satu alasan bangsa Eropa khususnya Portugis diterima di Jepang.

Semenjak itu, hubungan dengan bangsa Portugis semakin berlanjut, demikian pula dengan penyebaran misi agama Katolik yang pada tahun 1549 yang dipimpin oleh Francis Xavier, salah satu pendiri Jesuit. Misi penyebaran agama itu mencapai puncaknya pada beberapa tahun berikutnya bahkan Nagasaki sempat dijuluki Rome of the East, Roma di Bagian Timur, karena jumlah masyarakat lokal Jepang yang memeluk Katolik meningkat signifikan. Namun, ketertarikan masyarakat Jepang yang semakin tinggi terhadap agama baru itu dinilai oleh penguasa dinasti Tokugawa akan menjadi bakal ancaman untuk kekuasaaan mereka. Tokugawa Ieyasu, Shogun era itu, beranggapan bahwa ada misi terselubung dari banyaknya rakyat Jepang memeluk Katolik. Ia berpikir, dengan besarnya pengikut Katolik di Jepang nanti, para misionaris mungkin dapat menggulingkan kekuasaannya lalu menjadikan Jepang sebagai koloni Portugis sebagaimana yang terjadi di belahan bumi lainnya. Selain itu, kehadiran agama baru itu juga mengancam pudarnya doktrin keabsahan Kaisar di mata masyarakat Jepang, seperti yang diyakini di kepercayaan Shinto. Sejak itulah berbagai persekusi sengit dirasakan oleh para pemeluk Katolik di Jepang termasuk dieksekusinya 26 orang misionaris yang menyebarkan agama Katolik tahun 1597.  

Puncak kemarahan penguasa Jepang pada portugis dan penganut Katolik adalah saat terjadinya pemberontakan berdarah di Shimabara, Nagasaki tahun 1637. Pemberontakan itu diduga digerakkan oleh seorang penguasa lokal daimyo dan masyarakat lokal yang memeluk Katolik dan bertujuan menentang penetapan pajak yang terlalu tinggi sehingga mencekik bagi rakyat. Namun, malang tak dapat ditolak, nasib para pemberontak harus berakhir dengan sangat tragis dibantai setelah terkurung di kastil Hara karena kalah dalam jumlah. Di sisi lain, bangsa Belanda yang sudah bercokol di Jepang memanfaatkan kesempatan ini untuk membantu penumpasan pemberontakan itu agar mendapat simpati dari penguasa Jepang. Belanda sendiri tidak menitikberatkan misi mereka untuk menyebarkan agama Kristen namun untuk berbisnis. 

Setelah kejadian itu, tahun 1639, Portugis menjadi bangsa yang terusir dari Jepang dan kini tempat yang awalnya mereka tempati untuk berdagang, Dejima, dipindahtangankan pada Belanda. Selama dua ratus tahun, Jepang menerapkan peraturan yang sangat ketat yaitu siapapun dari Dejima tidak diperkenankan menyeberang ke Nagasaki, begitu pula orang Jepang. Hanya profesi tertentu yang diperbolehkan. Namun, seiring waktu peraturan itu melunak pasalnya orang lokal Jepang juga banyak mendapatkan ilmu baru dari para pendatang Belanda seperti ilmu pengobatan, militer, fotografi, dan juga astronomi. Dari pulau kecil itu orang Jepang juga mengenal beberapa hal yang sebelumnya tidak pernah diketahui seperti kopi, coklat, tomat, kubis, billiard, badminton, dan piano. Sepotong pulau itu kini sudah menyatu dengan daratan dan bukan lagi seperti pulau yang dulunya sempat terpisah. Kini Dejima menjadi situs yang dapat menarik cerita ke ratusan tahun lalu.

“Waktu kita tidak lama di sini, hanya 1 jam saja. Jadi silakan digunakan dengan sebaik-baiknya. Bagi yang ingin kembali ke bus mohon sampaikan ke panitia ya agar kami tidak mencari-cari nanti.” Seorang panitia dari KUFSA memberi arahan sebelum melepas rombongan untuk melihat-lihat ke dalam situs Dejima.

“Kalau aku baca-baca tadi, spot foto yang bagus kataya di jembatan Dejima Omotemon, jembatan utama yang dipakai untuk keluar masuk pulau ini dulu.” Haekal mencoba meyakinkan Reyhan dan Pak Heru.

“Wah, oke juga tuh. Aku ikut aja pokoknya. nggak ngerti juga ini tempat apa sebenarnya,” ujar Pak Heru.

“Rey, coba lihat bangunan gereja ini Di brosur ini disebutkan bahwa ini gereja Kristen pertama di Jepang lo,” ujar Haekal sambil menunjuk ke arah bangunan yang ia maksud.

Haekal menunjuk sebuah bangunan gereja yang masih kokoh berdiri namun kini sudah tidak difungsikan menjadi tempat beribadah. Di dalamnya kini digunakan sebagai tempat untuk menampilkan beberapa peninggalan pendatang Belanda dan juga sebagian tempat dibuat menjadi toko yang menjajakan beberapa suvenir khas bagi pengunjung Dejima. Cukup banyak dari rombongan yang mengunjungi toko itu sekadar melihat dan juga membeli beberapa barang yang menarik buat mereka. Mungkin sebagai kenang-kenangan dari Dejima dan Kota Nagasaki, kota yang indah dan sudut-sudutnya menyimpan banyak cerita sejarah. Cerita yang masih bisa ditelusuri dan diambil pelajaran hingga saat ini. 


***

Lihat selengkapnya