Setelah kejadian di Nagasaki lalu, Yuka mau tidak mau harus mencari waktu untuk berbicara dengan Adian tentang mereka. Meski Yuka selalu mencoba menghindar dari Adian, dalam hatinya ia juga merasa bersalah membuat Adian bertanya-tanya. Setidaknya, jika memang apa yang pernah ada di antara mereka berdua harus diakhiri, maka ia harus mengatakan yang sebenarnya. Dengan begitu Adian akan tahu dan menerima keadaannya. Namun, ia tak tahu pasti apakah ia bisa menyampaikan yang sebenarnya ia rasakan apa adanya.
Siang itu Yuka akan bertemu dengan Adian. Ia menepati janjinya. Mereka sudah duduk berseberangan di meja kecil di dekat jendela. Di meja itu ada bunga mawar merah yang tertata dalam vas putih tapi terasa janggal untuk suasana hati yang sedang tidak berbunga-bunga.
“Terima kasih sudah menepati janjimu. Mau pesan apa?” Adian menawari Yuka.
“Teh saja.”
“Oke. Lainnya?”
Yuka menggelengkan kepala.
Adian lalu memanggil pelayan, menyampaikan pesanan mereka berdua. Setelah pelayan kafe mencatat pesanan, ia kemudian mengambil buku menu. Bahkan pelayan itu pun bisa merasakan suasana di meja itu begitu tegang dan dingin berbeda dengan meja-meja lainnya. Tidak ingin tahu menahu, pelayan itu kemudian berlalu.
“Jadi, mau mulai dari mana?” Adian memulai obrolan dengan nada serius.
Yuka awalnya merasa mantap untuk memulai pembicaraan itu.
“Jadi, aku ingin jujur padamu kalau..” Ia terhenti. Pikirannya mencari kata yang tepat untuk menyambung kata-kata yang sudah keluar dari mulutnya.
“... kalau kita mungkin tidak bisa bersama lagi. Itu kan yang ingin kamu sampaikan?” Adian menebak terusan kalimat itu.
“Maksudku, ehm..." Yuka terjeda. “Iya, seperti itu.”
Adian menghela napas panjang. Ia terlihat kesal mendengar itu meski semua itu sudah ia duga sejak Yuka menghindar darinya.
“Kenapa? Karena kejadian waktu itu? Aku minta maaf tapi saat itu aku memang mabuk dan semua itu di luar kontrolku. Lihat, jika selama ini aku tidak pernah berbuat macam-macam denganmu kan? Sebelum itu kita baik-baik saja kan?”
“Aku bisa memahami kalau kau saat itu sedang mabuk meskipun perbuatanmu yang kamu sendiri tidak sadar waktu itu sungguh membuatku marah.”
“Aku mohon maaf untuk itu. Jadi semua akan kembali lagi seperti dulu?”
“Sebenarnya ada hal lain.” Yuka ingin berterus terang mengapa ia tidak bisa melanjutkan perasaannya dulu.
“Ada apa lagi?”
Di momen itu, Yuka masih belum menemukan cara yang pas untuk mengutarakan maksud hatinya yang sebenarnya. Sejatinya ia ingin mengatakan kalau apa yang ia harapkan tidak ada pada diri Adian setelah mengenalnya lebih jauh setahun ini. Itu saja alasannya. Namun, merangkumnya dalam kata-kata yang Adian akan mengerti susah. Adian sendiri tidak tahu seberapa ingin tahunya Yuka pada Islam dan keinginannya untuk mempelajarinya lebih dalam. Ia tidak tahu dan mungkin tidak berharap Yuka untuk ingin tahu tentang Islam. Adian, sejak pertama bertemu, melihat Yuka seperti gadis Jepang pada umumnya yang hanya tertarik pada sebuah hubungan romantis sepasang orang yang saling jatuh cinta. Dua sisi inilah yang sulit untuk dijembatani dan Yuka merasa Adian tidak akan tertarik mendengar cerita panjangnya tentang ini.
“Hai, kamu melamun.” Adian melambaikan tangan di depan wajah Yuka, mengembalikan kesadaran Yuka kembali.
“Maaf.”
“Jadi apa lagi masalahnya?”
“Masalahnya… adalah aku menemukan orang lain.”
“Orang lain? Maksudmu kamu sekarang sedang dekat dengan orang lain sebab itu kamu ingin mengakhiri ini semua?”
Yuka tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulutnya. Terlambat untuk menariknya kembali dan sebenarnya mungkin kalimat itu yang mungkin lebih simpel tapi mewakili perasaannya yang sebenarnya. Memang tidak ada orang lain dalam hatinya saat ini, tapi tidak juga ada nama Adian lagi di dalamnya. Apa suatu saat akan terisi dengan nama yang lain, ia juga tidak tahu.
“Iya.” Yuka berusaha menjawab ringan. Ia berpikir itu jawaban terbaik yang bisa ia berikan pada Adian.