Langit Cinta Kota Fukuoka

A. FADHIL
Chapter #15

Membulatkan Tekad #2

Yuka setengah berlari menuju ke apartemennya. Ia masih terbayang-bayang suasana di kafe tadi. Memang tidak salah jika ia pernah menaruh hati pada Adian, namun itu dulu. Dulu sekali. Ia bahkan tidak terbayang Adian masih terus mengejarnya sampai malam tadi.

Yuka meletakkan tas dan barang yang ia bawa dan langsung berbaring di kasurnya. Matanya terpejam dan masih memikirkan hal yang sama.

“Apakah yang aku lakukan tadi sudah tepat?”

“Apakah seharusnya aku menerima Adian yang ternyata memang gigih memperjuangkanku dari dulu sampai saat ini?”

“Tapi bagaimana jika setelah aku terima ia malah bukan seorang sosok yang benar-benar aku harapkan?”

Pikirannya terus berkelebat. Matanya terpejam. Ia hendak segera melupakannya namun malah momen itu semakin jelas. Pelan-pelan air matanya mengalir. Lisannya tanpa ia sadari, menyebut yang selama ini tertahan. 

“Tuhan, Engkau yang Maha Tahu akan isi hatiku. Engkau pun tahu keinginan yang telah lama kupendam ini. Aku ingin pendamping hidup yang bisa membawaku lebih dekat mengenal Engkau, menuntunku untuk mengenal-Mu.” 

Tangisnya semakin pecah. Ia sadar diri dan malu dengan keadaannya saat ini. Meski tangannya menengadah dan menyebut nama Tuhannya, tapi ia belumlah dapat disebut sebagai seorang muslimah, meskipun hasrat itu sudah muncul dalam dirinya sejak lama. Setiap kali hatinya gelisah ia selalu bermohon pada sesuatu. Tuhan. Dari apa yang ia alami dan baca ia semakin meyakini pada siapa dia dapat berharap. Tuhan yang kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Tuhan yang satu dan berdiri sendiri. Allah Swt. Yuka bertanya-tanya pada hatinya, “Apakah inilah waktu baginya untuk menyatakan apa yang saat ini ia pendam?” 

Setelah mengenal Reina dan teman-teman muslim dan muslimah dari Indonesia ia merasa punya referensi lebih banyak tentang Islam. Setiap pertanyaan yang ia temukan jawabannya semakin menuntunnya pada pertanyaan lainnya. Begitu seterusnya hingga membuat ia selalu mencari tahu dan belajar. 

“Apakah aku benar-benar sanggup menjadi seorang muslimah, dengan segala konsekuensinya nanti?” Ini keraguan terakhir yang menahan langkahnya ke titik terakhir. 

“Jika tidak sekarang, kapan lagi Apakah kita akan pernah sampai pada titik kesiapan atau sebenarnya kesiapan itu adalah sesuatu yang diusahakan setelahnya?”

“Mungkin ini adalah waktu yang tepat,” gumamnya.


Tangannya langsung mengambil ponsel yang tergeletak di meja. Ia hendak menghubungi Reina yang akhir-akhir ini banyak menjawab keingintahuannya tentang Islam. Jemarinya mengetuk-ngetuk huruf di layar ponselnya dan kemudian mengirimkannya ke Reina. Tak lama kemudian Reina langsung menghubunginya melalui telepon.

“Yuka, benar itu?”

“Iya, bantu aku ya?”

Masyaallah, insyaallah aku pasti akan bantu. Sehabis ini aku akan sampaikan ke komite Masjid Fukuoka dan besok kita setelah makan siang ke sana.”

“Baik, makasih banyak Reina, tapi aku ingin meminta pendapatmu soal sesuatu. Kapan kamu ada waktu?”

“Aku siap, malam ini?”

“Malam ini bisa?”

“Bisa, aku ke apartemenmu ya?”

“Tidak, biar aku saja.”

“Sudahlah, biar aku saja yang ke sana.”

“Terima kasih Reina.”


***


“Jadi apa yang membuatmu yakin?” tanya Reina sambil memegang dua tangan Yuka.

“Aku juga tak tahu pasti. Yang jelas, sejak kecil aku memang punya sahabat akrab seorang muslimah, namanya Aisha. Sejak itu aku mulai mencari tahu tentang Islam sampai ketika aku mengunjungi Indonesia hampir dua tahun lalu. Aku tinggal di asrama Internasional yang letaknya di dalam kampus IPB dan berjarak sangat dekat dengan Masjid di sana. Setiap kali aku mendengar adzan rasanya tubuhku gemetar dan selalu ingin mendengarkannya lebih lama. Terasa syahdu dan tenang. Aku merasa aneh, bagaimana seorang muslim datang dengan wajah ceria lima kali dalam sehari hanya untuk salat di Masjid itu. Sesuatu yang sangat berat dan butuh sebuah komitmen yang tinggi.”

Masyaallah, aku sampai ikut merinding mendengar ceritamu. Menurut sepengetahuanku, semua itu tergantung cari kita memandang konsep kehidupan itu sendiri. Dimana kita? Akan ke mana nantinya dan apa tujuan kita di sini? Dalam Islam konsep ini amat jelas bahwa tujuan hidup di dunia ini adalah untuk beribadah, salah satu bentuk ibadah adalah salat wajib lima waktu seperti yang kamu sebutkan tadi. Namun, sebenarnya lebih dari itu, setiap kebaikan dan pekerjaan yang kita lakukan juga bisa bernilai ibadah dengan jika dilakukan dengan niat yang benar.”

Hmm, bolehkah kalau aku bertahap belajar tentang semua itu?”

“Tidak ada yang bisa sekaligus, Yuka. Bahkan kami yang sejak lahir muslim pun masih terus belajar mempraktikkannya dan konsisten di keseharian. Pelan-pelan saja, biarkan semuanya berproses.”

Ah, Reina. Bolehkah aku memelukmu. Aku seakan menemukan sosok sahabat baikku dulu dalam dirimu. Terima kasih banyak sudah bersedia mendengarkan ceritaku.”


Lihat selengkapnya