Kucuran adrenalin membuat jantungnya memompa darah lebih cepat. Wajahnya pun memerah. Emosinya sudah di ubun-ubun. Ini sudah yang kesekian kalinya. Basa-basi dan kesabarannya sudah lenyap. Dengan ponselnya ia mengambil foto kendaraan yang terparkir di parkiran tokonya. Sesaat kemudian ia menelepon. Selepas menutup teleponnya ia melihat ke bangunan di depannya. Tampak cukup banyak sepeda yang terparkir di halaman bangunan di depan ia berdiri tapi di luar bangunan itu suasananya hening. Ia berdiri menunggu sampai orang-orang dari bangunan itu keluar.
Ketika melihat satu per satu orang keluar. Ia masih mengamati dengan seksama sampai satu orang datang ingin mengambil kendaraan di parkiran tokonya itu datang. Kemurkaannya tak terbendung lagi. Semua umpatan yang tadi masih terkunci rapat dalam mulutnya keluar.
“You foreigners. This is my place, don’t use it as you like. You go back home. Kalian orang asing. Ini tempat saya, jangan gunakan sesuka hatimu. Pulang ke negara asalmu sana!”
Orang yang diumpatnya terperanjat dan kaget namun pemilik bangunan itu masih terus bicara dengan nada tinggi. Kegaduhan itu telah menarik perhatian tidak hanya orang yang lalu lalang di sekitar area. Beberapa jemaah dari dalam masjid ikut keluar.
“Berapa kali saya sudah memperingatkan, kalian masih tidak tahu diri. Kamu tahu, sejak ada tempat ibadah ini di depan tempat usaha ini, saya banyak kesialan. Mulai dari parkir saya yang sering kali diserobot oleh orang-orang kalian, halaman tempat saya yang dijadikan tempat untuk ngobrol dan merokok. Pelanggan usaha saya yang terganggu melihat orang asing lalu lalang dan bergerombol di daerah ini.”
“Mr. Fujiwara, please forgive us. Mohon maafkan kami” Imam Omar datang dan memohon maaf dengan tulus menengahi konflik itu. Namun, dalam hatinya pun sebenarnya sangat kesal dengan kelakuan salah seorang jemaah tersebut meski sudah berulang kali diperingatkan.
“Kalau kali ini kalian bisa janji yang terakhir mungkin aku akan maafkan, tapi setiap kali seperti itu. Kalian akan mengulangi ini. Aku sudah relakan untuk menggunakan tempat parkir ini hanya sampai sebelum tempat usaha ini buka tapi ternyata itu malah membuat kalian makin semena-mena. Tidak tahu diri!”
“Mr. Fujiwara, dia mungkin tidak tahu dan baru di Jepang.”
“AKU TIDAK PEDULI! Polisi sudah datang dan kita akan selesaikan secara hukum.”
“Tolonglah, kita masih bisa membicarakan ini dengan baik-baik,” ujar Imam Omar.
“Tidak, terima kasih. Aku akan membawa ini ke rapat tetangga, kami akan memprotes keberadaan tempat ini di daerah kami. Kami sudah cukup muak dengan kondisi seperti ini.”
Tak lama kemudian, mobil polisi datang. Fujiwara, pemilik usaha, di depan Masjid As-Salam Fukuoka bercerita panjang lebar pada petugas kepolisian. Ia menunjuk mobil yang masih terparkir di samping bangunan miliknya. Ia tampak tak main-main untuk memperkarakan masalah ini. Setelah urusannya dengan polisi selesai, ia langsung masuk ke bangunan itu lagi tanpa menggubris dan menoleh lagi ke arah masjid di depannya.
***
“Brothers, sore tadi ada konflik lagi yang terjadi antara kita dan tetangga masjid ini. Bagi yang tidak tahu, saya tidak akan menceritakan orang dan peristiwanya secara detail. Bagi yang kebetulan tahu, simpan saja. Cukup, jangan sebarkan. Kita harus melindungi aib saudara kita. Namun, saya sudah berulang kali menyampaikan bahwa selama Anda di sini, ingat hal ini baik-baik, saya dan Anda semua di sini adalah representasi dari Islam. Bayangkan! orang di sekitar kita nyaris tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu apa itu ajaran Islam, apa isi kitab sucinya, apa pedoman hidupnya dan sebagainya. Yang mereka lihat adalah interaksi sosial kita dengan mereka. Akhlak kita.
“Seharusnya ada solusi dari pihak Masjid untuk mengatasi hal ini!” Seorang dari jemaah berujar.
“Jika solusi yang diinginkan adalah berupa lahan parkir yang di sekitar masjid, mohon maaf itu sangat sulit sekali dilakukan. Meskipun kita punya dana, kita berada di tempat yang cukup padat dan tidak mudah mendapatkan lahan untuk membangun parkir di area ini,” jawab Imam Omar.