“Untuk pertanyaan yang kedua, fenomena sosial pada masyarakat menunjukkan adanya asosiasi negatif tentang agama dan menjadi seorang pemeluk agama yang taat. Pengalaman buruk masyarakat Jepang yang masih sangat melekat sampai saat ini ketika berbicara tentang agama adalah tragedi Tokyo Sarin Attack tahun 1995 yang merenggut korban jiwa 12 orang di jalur kereta Tokyo. Para pelaku dari kelompok tersebut menyebarkan cairan beracun sarin yang dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat bagi orang yang menghirup gasnya. Tidak hanya itu ada banyak kejadian-kejadian kriminal lainnya yang didalangi organisasi ini. Aum Shinrikyo adalah kelompok keagamaan baru yang baru didirikan tahun 1987 oleh Shoko Asahara yang berisi campuran dari beberapa ajaran dari agama Buddha, Hindu, Kristen dan Taoisme dengan tafsiran-tafsiran mereka sendiri. Organisasi ini merekrut anggotanya dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat awam, mahasiswa, bahkan sampai ilmuwan lulusan universitas terkemuka di Jepang. Para kalangan terpelajar tersebutlah yang kemudian menjadi petinggi dan pengonsep tindakan terorisme yang dilakukan organisasi tersebut.”
“Kejadian itu dianggap oleh sebagian besar orang Jepang bahwa agama dapat memanipulasi dan mencuci otak pengikutnya. Bukan saja untuk tujuan memeras uang anggotanya, namun juga menjadi kriminal dengan melakukan berbagai tindak kejahatan serta sampai kehilangan anggota keluarganya. Menjadi pengikut agama yang taat bisa membuat seseorang dapat membuat seseorang melakukan hal yang di luar akal sehat demi menjalankan doktrin-doktrin agamanya.”
“Asosiasi negatif ini, jika ditelusuri lebih panjang, sebenarnya bukan hanya terjadi pada agama Aum Shinrikyo saja. Contoh lainnya misalnya, Jepang pada masa pemerintahan kekaisaran Meiji menetapkan Kokka Shinto atau Shinto Negara sebagai paham yang dijadikan ideologi negara. Konsep Kokka Shinto memasukkan konsep baru yang menjadikan Kaisar Jepang sebagai Tuhan atau Kami yang disembah. Menurut mitologi kuno Jepang, memang sang Kaisar adalah keturunan dari Amaterasu atau Dewi Matahari, salah satu tokoh kami yang sentral dalam kepercayaan Shinto. Ideologi ini yang awalnya hanya merupakan kisah mitologi atau legenda yang ada di buku-buku lama. Namun, kalangan militeristik ultranasionalis yang bercokol di pemerintahan Jepang saat itu menggaungkan dan memasukkan pahama ini dalam kurikulum pembelajaran formal. Tidak hanya itu, masyarakat dipaksa untuk menelan mentah-mentah doktrin ini.”
“Setelah doktrin tersebut tertanam kuat di masyarakat, konsep itu dijadikan pembenaran untuk patuh dan tunduk pada perintah Kaisar bahkan jika harus mengorbankan nyawa sekalipun. Efek lainnya dari ideologi itu adalah menumbuh suburkan paham bahwa Jepang adalah bangsa terpilih keturunan dewa dewi yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan bangsa lain sehingga selayaknya menjadi pemimpin Asia dan dunia. Tujuan pragmatis dibalik penanaman doktrin tersebut sebenarnya adalah karena kaum militer Jepang memerlukan tentara yang loyal dan kekuatan militer yang besar untuk ekspansi imperiumnya dan memenangkan perang Pasifik. Oleh seorang peneliti, Walter A. Skya dalam bukunya Japan’s Holy War menyebutkan tujuan dari ideologi yang dimaksud, ideologi Shinto ultranationalisme, adalah menciptakan tatanan baru imperium dunia di bawah kekuasaan kekaisaran Jepang. Jadi, di masa itu pun sebenarnya sudah ditemukan bagaimana suatu ideologi dapat dimanipulasi untuk memobilisasi orang-orang untuk tujuan yang diinginkan dan juga sebagai motivasi dan pembenaran dari ambisi kekuasaan kala itu.”
“Setelah kekalahan Jepang di perang dunia ke-2, Amerika menuntut sistem pendidikan Jepang diperbaharui. Pengajaran tentang doktrin agama di sekolah dihilangkan dan Kaisar Jepang juga harus mendeklarasikan dirinya sebagai manusia, bukan Dewa atau Tuhan. Amerika dan sekutu beranggapan apa yang mereka lakukan itu tujuannya agar kebebasan memeluk agama bagi setiap orang terjamin. Selain itu, langkah memisahkan agama dan negara juga dapat menghilangkan doktrin agama yang menumbuhkan suburkan paham militerisme dan ultranasionalisme di Jepang.”
“Kedua, jikapun suatu agama tidak mengajarkan kekerasan atau tindakan negatif demikian, ada hal lain juga yang membuat orang Jepang menghindari agama secara umum yaitu perbedaan. Seseorang yang memeluk agama tertentu cenderung juga akan mengikuti ibadah dan kewajiban yang ada pada agama yang dianutnya. Misalkan, jika seseorang memeluk agama Kristen maka jika ingin menjadi seorang pengikut yang baik dia juga harus melakukan ibadah mingguan misalnya, tidak mengkonsumsi makanan tertentu yang dilarang oleh ajaran agama misalnya. Ini akan membuat mereka menjadi orang yang berbeda dari perilaku orang Jepang secara umum yang sangat homogen. Pandangan itu didasari bangsa Jepang berasal dari ras, tradisi budaya dan bahasa yang sama sehingga menjadi berbeda adalah sesuatu yang mencolok dan sulit. Berbeda dengan negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan ras, perbedaan adalah keniscayaan.”
“Saya pernah mendapat cerita dari seseorang yang berasal dari keluarga pemeluk Kristen yang taat, ia mengatakan ia selalu dianggap aneh oleh teman-temannya ketika sekolah karena setiap hari Minggu ia tidak bisa jika diajak untuk bermain bersama dengan alasan ia harus ke gereja. Jika orang sangat taat pada suatu agama, ini bisa diasosiasikan dengan kejadian yang saya sampaikan sebelumnya. Kebanyakan orang umumnya termasuk orang Jepang menganggap agama membuat pengikutnya sulit karena banyak aturan yang harus ditaati dan dilakukan serta membatasi kebebasan hidup.”
“Ketiga, konsep Abrahamic religions atau agama-agama Ibrahimiyah seperti Yahudi, Kristen, dan Islam juga cenderung dianggap bertentangan dengan dengan keyakinan umum tentang leluhur. Dalam keyakinan agama tersebut, mereka tidak termasuk orang yang memeluk agama tersebut akan mendapatkan akhir yang buruk. Dalam kepercayaan umum orang Jepang, yang diilhami dari Shinto, roh leluhur merupakan sesuatu yang sangat dihormati bahkan menjadi salah satu dari sekian banyak kami dalam agama Shinto. Leluhur yang telah wafat dipercaya masih berada di sekitar keluarganya untuk melindungi dan memperhatikan kehidupan keturunannya. Kami sendiri secara umum diartikan sebagai Tuhan, tapi sebenarnya maknanya lebih kompleks dari definisi Tuhan yang umumnya kita pahami. Kami bisa berupa fenomena alam yang kompleks dan mengagumkan seperti gunung, hutan, laut, petir, sungai, sumber air panas dan lainnya. Tidak hanya itu, kami dapat juga berupa manusia seperti Sugawara no Michizane yang merupakan seorang ilmuwan di zaman Jepang kuno, dianggap seperti dewa pengetahuan ‘Tenjin’. Selain itu, roh orang yang meninggal juga bisa menjadi kami, misalnya orang-orang yang terlibat perang selama Perang Dunia II dianggap sebagai pahlawan dan juga disembah. Biasanya ada beberapa kami kemudian dibuatkan kuil yang didedikasikan untuk kami tersebut sehingga muncul ritual jika ingin lulus masuk universitas maka kuil yang ‘cocok’ untuk berdoa adalah kuil ini dan itu misalnya. Singkatnya, tidak ada batasan yang jelas apa dan siapa yang bisa menjadi kami dalam ajaran Shinto oleh karena itu tidak ada jumlah yang pasti berapa kami yang ada dalam ajaran Shinto. Yang pasti, menurut definisi tadi, jumlahnya bisa sangat banyak.”
“Mungkin tiga alasan tersebut dapat sedikit menjelaskan mengapa pemahaman orang Jepang tentang konsep Agama berbeda dari apa yang kita yakini sebagai seorang muslim dan juga yang dipahami di Barat.”
Prof. Ahmet melihat mimik muka orang-orang di depannya. Si penanya tampak puas dengan jawaban panjang lebar tersebut.