Langit Cinta Kota Fukuoka

A. FADHIL
Chapter #19

Getar Cinta di Kobe #2

Hanya ada beberapa orang yang terlihat hilir mudik di stasiun Hakozaki pagi itu, pemandangannya belum ramai seperti biasanya. Lima orang terlihat sudah siap duduk-duduk di kursi dekat peron kereta. Reyhan dan Fandi duduk berdampingan semantara tiga perempuan lain duduk di bangku sebelahnya. Pukul 06:02 kereta yang mereka tunggu akan tiba. Sebuah kereta lokal yang bertolak dari stasiun Tosu sejak 05:30 pagi, 30 km atau 17 stasiun sebelum stasiun mereka saat itu, Hakozaki. 

Reyhan beberapa kali melihat jam tangannya. Masih sepuluh menit lagi, kereta yang mereka tunggu. Semua tampaknya tidak ingin melewatkan momen ini dan sengaja berangkat lebih dulu. Ia mulai mengatur kameranya yang akan ia gunakan untuk merekam video selama perjalanan. Begitu pula yang lain. 

“Aku membuat teh mint hangat lo! Sembari nunggu kereta untuk menghangatkan badan siapa yang mau?”

“Mau, tapi aku nggak bawa gelas Reina,” kata Bintang.

Dua orang lainnya juga memasang muka sumringah. 

“Tenang-tenang, aku juga bawa gelas. Pokoknya lengkap. Ayo ambil satu-satu.”

 Reina menyodorkan gelas kertas sekali pakai ke setiap orang. Ia juga menuangkan teh mint dari termos kecil miliknya. 

“Rey, kamu mau coba?”

Ehm, aku tadi…”

Fandi menyikut Reyhan membuatnya terhenti berbicara. Reyhan langsung sadar isyarat Fandi dan mengganti jawabannya.

Emm, boleh. Aku mau.”

Reina lalu menuangkan teh untuk Reyhan.

“Gimana rasanya?”

“Enak, enak” kata Fandi. “Iyakan Rey?”

“Iya iya, enak. Makasih ya Reina. Pas minum yang hangat-hangat saat kayak gini,” ujar Reyhan.

Alhamdulillah, syukurlah,” ucap Reina.


“Rey, kalau ada orang yang ngasih itu terima aja,” ucap Fandi berbisik pada Reyhan setelah Reina beranjak.

“Tapi Mas, aku barusan beli cokelat panas ini di vending machine bawah stasiun,” Reyhan mengeluarkan minuman cokelat kaleng hangat dari saku jaketnya. Cokelat kesukaannya dan satu-satunya yang aman dikonsumsi untuk muslim setelah melalui konfirmasi sebuah grup diskusi Halal Food di Facebook. 

“Ya, apa salahnya tetap terima tehnya dan minum coklatnya kan?” Fandi tetap bersikeras dengan pendapatnya.

Lo tapi nanti jadinya nggak panas lagi.”

“Dasar nggak peka! Membahagiakan orang yang ingin memberi itu dengan menerima pemberiannya. Sini kasih aku aja sini cokelatnya mau panas mau enggak tetap aja abis nanti.”

Dih. nggak mau ah.”

Reyhan beringsut duduk menjauh dari Fandi, meskipun ia tahu itu hanya bercanda.


Tak lama, kereta yang ditunggu pun datang. Tepat berhenti pukul 06:01, menunggu sejenak orang yang ingin masuk ke dalam gerbong. Jika tidak ada halangan tertentu kereta di Jepang memang selalu bisa diandalkan. Bus pun demikian sebenarnya, seringnya tepat waktu. Hanya saja kadang kalau cuaca buruk atau ada gangguan lalu lintas, bus bisa juga terlambat dari jadwal yang ditentukan.

Gerbong kereta sepagi itu masih lengang. Hanya ada beberapa orang berpakaian kasual yang duduk di kursi bagian ujung gerbong. Kereta yang mereka naiki mulai melaju pelan. Reyhan mulai mengabadikan momen-momen sejak menunggu tadi dengan kamera action-nya begitu pula Yuka dan lainnya. Suara khas roda besi menggilas rel akan jadi hal yang akrab di telinga mereka sepanjang perjalanan. Dari stasiun Hakozaki mereka akan menuju ke stasiun Fukkodaimae, kemudian berganti kereta menuju stasiun transit berikutnya, stasiun Kokura di kota paling utara di pulau Kyushu. 

Benar saja dugaan mereka, bepergian dengan kereta punya kekhasan tersendiri karena jalur yang dilewati bukan jalanan aspal yang pemandangannya cenderung monoton. Jalur kereta dapat membawa mereka menyusuri sentra keramaian dari suatu kota dengan stasiunnya dengan megah. Namun, di sisi lain, mereka juga bisa merasakan pemukiman sepi dengan stasiun yang hanya ada satu bangunan sederhana dan loket tiket otomatis tanpa ada petugas. Pemandangan di kanan kiri pun demikian, kadang melintasi hiruk pikuk kendaraan tapi juga bisa merasakan suasana desa yang sepi, hamparan sawah, dan pemandangan pepohonan yang rimbun. 

Kereta adalah moda transportasi yang unik. Cukup dengan naik kereta saja, seseorang bisa tahu bagaimana timpangnya status sosial dan ekonomi masyarakat ibu kota dan sekitarnya di Indonesia. Dari satu jalur kereta listrik commuter line arah Bogor-Jakarta atau Bekasi, orang bisa melihat gedung megah pencakar langit dan pemukiman kumuh di di sekitar jalur kereta. 

Sepasang mata beberapa kali melirik ke arah Reyhan saat dirinya sedang sibuk merekam pemandangan sepanjang perjalanan. Saat orang-orang di sekitar bangku itu setengah terlelap karena kantuk, hatinya justru saat itu sedang berdegup dengan kencangnya. Ia bahagia namun juga gundah bagaimana agar perasaannya ini berbalas atau setidaknya tersampaikan meskipun Reyhan juga belum tentu menerimanya, barangkali malah ia sudah pasti ditolak. Ia tak kuasa rasanya untuk memberi isyarat apalagi hendak menyampaikan langsung. 

“Apa mungkin ia bisa terus terang saja? kalau nanti pemuda itu sama sekali tidak tahu apa yang ada dalam hatinya.” 

Jika tak kuasa menyampaikan langsung, mungkin ia akan meminta sahabatnya. Intinya biarlah perasaan ini sampai, agar pohon cinta dalam hati tidak tumbuh menjulang berakarkan harapan yang belum pasti. Namun, sebagian orang membiarkan berlama-lama dalam prasangka itu karena terlalu takut tersadar dengan kenyataan yang tak selaras. Begitupun dirinya.

Di saat yang hampir bersamaan, sepasang mata juga melemparkan lirikan pada Reyhan dari kursi seberang. Ia seperti menemukan jawaban dari seorang diri Reyhan, mungkinkah dari doa-doa yang acap ia rapal, yang isinya hanya dia dan Tuhannya yang tahu. Ibarat burung merpati yang baru belajar terbang, ia sepenuhnya tahu diri kalau langit yang ada di atas terlalu tinggi untuk digapai.


***

Kereta yang mereka tumpangi baru saja melewati terowongan kereta Kanmon yang menghubungkan dua pulau, pulau Kyushu dan pulau paling besar di Jepang, pulau Honshu. Tidak ada yang istimewa, kereta melaju dengan biasa saja padahal baru saja melewati terowongan bawah air yang terentang sepanjang kurang lebih 6 km. Stasiun transit berikutnya yang sudah berada di pulau Honshu adalah stasiun Shimonoseki di prefektur Yamaguchi. 

“Kita rehat sejenak untuk makan siang di stasiun Shimonoseki bagaimana?” Reyhan meminta pendapat yang lain.

“Setuju. Aku dan Bintang masih punya bekal untuk makan siang. Kita rencana makan siang di dalam stasiun atau ke restoran?”

“Tidak ada restoran yang punya menu halal di sekitar stasiun ini dan mungkin akan lebih praktis kalau kita makan di dalam stasiun saja,” jawab Reyhan

“Aku mau beli sesuatu ke luar dulu tapi, nggak bawa bekal apa-apa selain makanan ringan soalnya,” Fandi menimpali.

“Aku juga mas,” ujar Reyhan.

“Aku juga mau beli minuman,” ujar Yuka.

Ketika kereta sudah dekat stasiun Shimonoseki, lima orang ini memutuskan untuk tidak langsung mencari kereta lanjutan berikutnya. Semuanya mencari tempat duduk yang agak lapang untuk duduk-duduk sambil makan siang sejenak. Reyhan, Fandi dan Yuka keluar stasiun untuk membeli makan siang di toserba.


“Mas, itu apa?” Reyhan menunjuk ke makanan yang dibeli Fandi. Mereka bertiga sedang mengantre di depan kasir.

“Oh ini, cuma keripik. Camilan buat di perjalanan.”

Ngaco ih, coba baca komposisinya,” ujar Reyhan.

“Emangnya ada apa?” Fandi sedikit bingung.

Buta ekisu,” Reyhan menunjuk huruf kanji yang ada di bagian komposisi makanan ringan yang dipegang Fandi. “Apa artinya kira-kira?”

Nggak tahu.”

“Mas, please. Itu artinya ekstrak babi. Masih mau?”

“Oh iya? kok aku pernah lihat kamu makan ini.”

“Bukan yang itu, ada yang satunya lagi tapi nggak ada di sini. Yang varian satunya insyaallah aman.”

“Yah, ya sudahlah. Aku kembalikan lagi.” 

“Tunggu, ini lagi nih. Yang ini juga nyukazai-nya (pengemulsi) juga dari bahan hewani, jadi juga meragukan,” Reyhan menunjuk biskuit lain yang dipegang Fandi.

Muka Fandi pasrah, padahal kemasan biskuit itu begitu menggoda.

“Aku kembalikan juga nih jadinya,” Fandi hendak berbalik menuju rak makanan ringan tempat ia mengambil camilan.

Lihat selengkapnya