Setelah dari kastil Himeji, mereka berkeliling kota lalu kemudian pulang dan beristirahat di hotel masing-masing sebelum melanjutkan perjalanan ke Kobe. Tujuan awalnya adalah di sana adalah singgah di pelabuhan Kobe (Kobe Port) yang jadi salah satu ikon kota itu. Jarak Himeji dan Kobe satu jam sepuluh menit dengan kereta meskipun masih dalam satu prefektur yang sama, Prefektur Hyogo. Sore hari mereka meninggalkan Himeji menuju Kobe dan disambut oleh kerlap-kerlip lampu warna-warni di pelabuhan Kobe. Mereka tidak berlama-lama di pelabuhan Kobe karena beberapa orang sudah mengeluh penat dan tak cukup kuat lagi untuk berjalan jauh. Selepas dari sana, lima orang itu memutuskan untuk menuju ke penginapan. Perjalanan akan berlanjut esok hari dan rencananya salah satu spot penting yang akan mereka kunjungi esok hari di Kobe sebelum ke Osaka dan Kyoto adalah Masjid Kobe. Reyhan mengusulkan ini karena Masjid Kobe merupakan situs sejarah di Jepang dan sekaligus masjid tertua di negeri itu.
Malam itu di Kobe, Fandi sudah tertidur pulas di atas kasur setelah salat jemaah dengan Reyhan di kamar mereka. Sementara itu, tiga orang lainnya juga beristirahat di kamar lainnya. Obrolan di grup perjalanan itu sepi. Semua tampaknya kelelahan sekali hari itu tapi Reyhan masih terjaga. Entah kenapa kantuknya hilang setelah melihat video yang ia ambil selama perjalanan mereka. Di satu waktu ia sadar kalau memori penyimpanan tidak cukup lagi untuk mendokumentasikan perjalanan beberapa hari ke depan. Ia harus menghapus beberapa fail atau membeli memori tambahan. Ia melihat jam tangannya belum lepas sejak dari Himeji tadi.
“Ah, ini masih belum terlalu malam dan mungkin ada toko yang buka hingga larut,” gumamnya dalam hati.
Ia lantas berkemas-kemas dan memutuskan untuk keluar mencari toko elektronik atau sejenisnya yang masih buka. Hotel mereka terletak tidak jauh dari Sannomiya, pusat kota Kobe. “Harusnya tidak susah mencari toko seperti itu,” pikir Reyhan.
Benar saja perkiraannya, tidak susah memang untuk menemukan toko elektronik di sekitar penginapan mereka. Hanya beberapa ratus meter saja sudah bisa ditemukan sebuah toko elektronik yang cukup besar. Namun, sayangnya ia tidak jeli melihat jam operasionalnya. Meski toko itu mudah ditemukan, tapi toko-toko itu sudah tutup hampir dua jam lalu. Ia coba melihat opsi lainnya di mesin pencari, semua yang di sekitar area itu sudah tutup sejak pukul 8 malam bahkan ada yang pukul tutup lebih awal dari itu. Sedikit agak kecewa karena tidak mendapatkan yang ia cari, Reyhan akhirnya hanya berjalan tak tentu arah, hanya sekadar ingin melihat pusat kota Kobe di malam hari, saat jalanan yang semula bising dan ramai kini menjadi sepi dan lengang. Dalam benaknya, jika kaki-kakinya sudah mulai tak kuat, ia tinggal memutar balik dan berjalan menuju penginapannya lagi.
Hingar bingar kota itu sudah mereda. Kedai-kedai makanan di sisi kiri dan kanan jalan sudah ditutup. Kini hanya ada beberapa orang yang berjalan. Ada sisi yang terang benderang diterangi cahaya lampu jalan, tapi ada juga gang-gang sempit yang gelap. Kaki Reyhan berbelok ke satu gang kecil menjauh dari jalan raya. Setelah beberapa langkah ia susuri gang kecil itu. Ia berhenti di depan sebuah vending machine.
“Ah akhirnya ketemu di sini,” gumam Reyhan sambil tersenyum.
Kali ini ia menemukan minuman cokelat hangat kesukaannya. Itu yang ia cari sejak tujuan utamanya tadi tidak tercapai. Ia sudah memerhatikan di beberapa vending machine yang ia lewati tetapi nihil. Tangan kanannya merogoh uang koin 500 yen dari celana jeans biru gerau yang ia kenakan. Tak lama kemudian minuman kaleng itu keluar dan bersamaan dengan uang receh kembaliannya.
Ketika ia hendak jalan berbalik menuju ke jalan utama dan kembali ke hotel, agak jauh di ujung gang, ia melihat ada tiga orang berdiri berkerumun seperti sedang mengelilingi sesuatu. Reyhan tidak dapat menangkap dengan jelas apa yang mereka bicarakan namun samar-samar Reyhan mendengar suara wanita muncul di antara suara pria-pria itu. Saat hendak beranjak untuk kembali ke jalan utama, ia kembali mendengar suara wanita samar-samar tadi meminta tolong. Pandangannya langsung berbalik ke tiga orang tadi. Gerak-gerik mereka kini terlihat mencurigakan. Gelagak mereka tawa yang semula biasa kini terdengar sumbang bagi Reyhan.
Wanita itu terpojok ketakutan dikelilingi tiga orang pria. Kaki dan suaranya gemetar. Muka laki-laki di hadapannya tampak begitu menginginkannya. Tangan-tangan jahat mereka yang ingin menjamah tubuhnya berkali-kali ia tepis sekuat tenaga. Meski begitu, posisinya di lorong remang-remang itu begitu tersudut. Isakan tangisnya malah jadi bahan cemoohan pria berandal itu.
Di saat yang sama, Reyhan memutuskan untuk melangkah mendekat ke arah tiga orang pria itu. Dengan berusaha berjalan santai, Reyhan seolah-olah hanya ingin tampak seperti orang lewat yang tidak akan memerdulikan dan mencampuri urusan tiga laki-laki itu. Dalam hatinya, ia hanya ingin memastikan kalau apa yang ia dengar barusan bukan permintaan tolong dari sesuatu yang berbahaya. Mungkin saja pria-pria itu sedang bermain dengan gadis malam yang mereka sewa dan teriakan tadi hanya gurauan mereka saja. Jika demikian, itu bukan urusannya.
Semakin mendekat ia semakin merasa aneh. Tiga orang berandal itu terlihat berniat membekap mulut gadis itu untuk membungkam teriakannya. Sejak tadi ia merasa kenal dengan suara wanita itu, meski hanya sayup-sayup. Kian dekat ia kian yakin rasanya. Melihat Reyhan menuju ke arah mereka, tiga pria itu mulai panik. Wanita yang mulutnya belum sempurna terbungkam itu berteriak meminta tolong lagi. Kali ini sangat jelas didengar oleh Reyhan dan ia lah yang diharapkan oleh wanita itu. Di jendela waktu yang sempit itu ia harus memutuskan akan ikut campur atau tidak. Jantung Reyhan mulai berdegup kencang, aliran darahnya menderas.
“Hei, lepaskan wanita itu!” suara lantang Reyhan memecah hening. Tangannya menunjuk ke arah tiga pria itu.
“Heh, orang asing. Jangan ikut campur! Urus urusanmu sendiri. Ini bukan negaramu tapi kalau kamu ingin cari masalah kami dengan senang hati melayanimu!” Salah satu pria itu mengumpat. Dari bahasa Jepang Reyhan jelas mudah dikenali ia orang asing.
Gertakan mereka tidak membuat nyalinya ciut. Reyhan terus berjalan mendekat dengan lebih hati-hati. Sinar lampu kini dengan meneranginya dengan jelas.
“Reyhan, help me! Tolong aku!” Wanita itu berteriak menyebut namanya.
“Who’s that? Siapa itu?” Reyhan terkejut namanya disebut. “Yuka, is that you? Kamu kah itu?” Nama itu keluar dari mulut Reyhan spontan, persis dengan apa yang ada di pikirannya sejak tadi.
“Ehmm” suara wanita itu terbungkam lagi tapi Reyhan hampir yakin kalau itu jawaban iya atas pertanyaannya.
Reyhan semakin berang melihat tiga lelaki itu.
“Hai orang asing, ini peringatan terakhirmu. Jangan ganggu kami ingin bersenang-senang malam ini,” ujar seorang pria sambil memukul-mukul stik baseball ke genggaman tangan kirinya.