Reyhan tersadar bahwa apa yang akan dihadapinya tidak sesederhana yang ia bayangkan. Ia jujur sama sekali buta tentang hukum positif di Jepang.
Dua jam sejak ia datang di kantor polisi itu, ia langsung dihujani banyak pertanyaan. Beberapa pertanyaan yang ia dapatkan penuh dengan kecurigaan bahwa ia menjadi bagian dari kejahatan yang dilakukan Matsumoto.
Hari itu sudah pukul 7 malam. Pikiran Reyhan mulai kalut.
“Berdasarkan hasil penyelidikan kami, kami harus menahan Anda untuk mempermudah proses pengungkapan fakta dan bukti. Selain itu, pertimbangan ini juga karena Anda warga negara asing dengan izin tinggal yang akan berakhir beberapa bulan lagi,” ujar petugas kepolisian Fukuoka.
Berita itu seperti petir yang menyambar tubuhnya. Tubuhnya bergetar menerima surat untuk penahanannya. Ia bangkit dari tempat duduknya.
“Ini fitnah. Sudah berapa kali saya jelaskan bahwa saya sama sekali tidak menghasut siapapun untuk melakukan tindakan kejahatan. Saya seorang mahasiswa dan saya datang ke negeri Anda hanya untuk studi. Itu saja tidak lebih. Apa bukti yang Anda punya sampai bisa menahan saya?”
“Tenangkan diri Anda. Penahanan bukan bagian dari hukuman, ini hanya bagian dari proses pemeriksaan apakah Anda bersalah atau tidak. Kami bertindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di Jepang.” Nada bicara Polisi itu sedikit membuat emosi Reyhan turun.
“Anda tidak bisa seenaknya menahan orang, meskipun di mata Anda saya hanya orang asing. Saya tidak terima. Saya tidak ingin ditahan.” Suara Reyhan kembali meninggi.
“Kami minta Anda untuk tetap kooperatif dengan pihak kepolisian dan percaya bahwa kami akan menangani kasus ini dengan adil. Tindakan yang Anda lakukan akan menimbulkan efek yang buruk untuk Anda sendiri pada kasus ini.”
Kedua tangan Reyhan mengusap mukanya sendiri, tak tahu bagaimana lagi melampiaskan kemarahan serta kebingungannya.
“La hawla wala quwwata illa billah. Hasbunallah wa ni’mal wakil ni’mal maula wa ni'man nashir.” Reyhan menghela nafas panjang. Jika ini yang harus ia lalui, semuanya kini ia serahkan kepada Sang Pemilik skenario terbaik. Di sebuah kamar Reyhan merenung kalau malam itu adalah awal malam yang panjang yang ujungnya masih gelap.
Dengan dalih untuk keperluan penyidikan ponselnya juga diamankan oleh pihak kepolisian. Komunikasinya pada dunia luar benar-benar terbatas. Ia diperkenankan untuk menghubungi di jam tertentu melalui saluran telepon di kepolisian. Kesempatan itu ia gunakan untuk menghubungi Imam Omar dan Haekal. Dua orang itu yang terlintas dalam pikirannya.
Sesuai dengan penjelasan saat pemeriksaan, polisi memiliki kewenangan untuk menahannya dalam kasus ini atas keterangan dari tersangka yaitu Matsumoto. Ia akan berstatus terperiksa di bawah di tim kepolisian minimal selama 2x24 jam berikutnya.
***
Berita tentang Reyhan sudah ramai di grup komunitas muslim di Fukuoka. Perkembangan kasus itu juga selalu jadi pembicaraan hangat di media. Kini media mulai mengangkat keterlibatan oknum yang menghasut Matsumoto untuk melakukan hal tersebut. Foto saat Matsumoto dan seorang pemuda memegang kerja berlambang suatu organisasi ekstrimis yang beredar di media massa dengan secepat kilat dan sontak menjadi buah bibir di masyarakat. Sama halnya dengan foto ketika Reyhan dan Matsumoto berdua di apartemennya. Persis seperti yang diinginkan oleh Matsumoto. Mungkin juga foto itu sengaja disebarkan ketika kasus ini mulai mencuat di publik.
Komite Masjid masih terus berupaya memberikan bantuan pada Reyhan terutama Imam Omar. Ia merasa sangat bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Reyhan.
“Bagaimana tentang pengacara?”
“Saya sudah menghubungi beberapa orang yang saya kenal dan juga rekomendasi dari beberapa rekan saya, mereka semua secara implisit menolak karena mereka menilai ini akan berdampak ke reputasi mereka,” ujar Brother Sakaki.
“Pihak KBRI Tokyo sudah menghubungi perwakilan komunitas Indonesia di Fukuoka tapi mereka baru bisa datang dalam 2 hari lagi dan mereka belum bisa memberikan bantuan hukum apapun saat ini.” ujar Pak Reza, ketua komunitas muslim Indonesia.
Dua hari lagi jelas waktu yang lama sementara semua dari mereka di ruangan itu sepakat kalau mereka membutuhkan saat ini juga. Di saat keheningan, suara ketukan terdengar dari pintu depan Masjid Fukuoka.
“Selamat siang,” suara itu datang dari seorang pria berkacamata dengan jas hitam.
“Selamat siang, silakan masuk, apa ada yang bisa saya bantu?” Imam Omar mempersilakan tamu tersebut masuk.
“Perkenalkan, saya Tomohisa Masaru, jika tidak keberatan apakah saya bisa berbicara langsung pada ketua atau pimpinan dari Masjid Fukuoka?”