Setelah Reyhan kembali ke dalam, di jalan pulang Imam Omar bertanya pada Tomohisa tentang kemungkinan untuk Reyhan bisa dibebaskan sebelum sampai proses peradilan. Tomohisa pun bercerita panjang lebar.
“Imam, saya kebetulan tergabung dalam asosiasi seribu advokat Jepang, yang pada tahun 2019, kami menandatangani dan mendukung reformasi hukum pidana di Jepang. Kami mengamati cukup banyak kasus seperti ini terjadi dan jelas-jelas bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Kasus terakhir yang jadi perhatian kami adalah seorang warga negara asing yang ditangkap karena pihak kepolisian mendapati satu gram kokain yang dikirim ke salah satu alamat tempat orang tersebut pernah tinggal di Jepang. Narkoba tidak pernah sampai ke alamat itu karena sudah berhasil dicegat oleh kepolisian. Dalam paket kiriman itu pun tidak ada nama, hanya alamat saja, tapi polisi tetap menangkap dan menahan orang tersebut. Ia diperiksa dan ditahan selama 23 hari baru bisa mendapatkan jaminan untuk keluar dari tahanan. Karena tidak cukup bukti, kasus itu dihentikan setelah 2 bulan. Warga negara asing tersebut mengalami trauma yang mendalam akibat kejadian yang ia alami karena ia sendiri pada dasarnya tidak tahu apa yang membuatnya ditangkap dan ditahan. Itu yang saya juga takutkan terjadi pada Reyhan.”
“Kasus seperti itu tidak sedikit terjadi di sini. Bukan hanya itu, ada banyak cerita tentang orang yang terpaksa mengaku bersalah atas apa yang dituduhkan pada mereka hanya karena mereka sudah tidak tahan menghadapi interogasi selama proses penahanan. Jika mereka bersikeras untuk tidak mengaku, maka proses yang akan mereka jalani lebih lama. Istilah untuk ini adalah Hostage Justice System atau Hitojichi shihō.”
“Pemerintah mengklaim tidak ada yang salah dalam sistem hukum saat ini. Justru menurut mereka, sistem saat ini cukup efektif dengan angka kriminalitas yang rendah dibandingkan negara lain dan tingkat pengakuan bersalah oleh pelaku kejahatan di peradilan yang mencapai 99%. Menurut mereka tingginya pengakuan bersalah itu karena penegak hukum begitu teliti. Kasus hukum yang diproses dari penyidikan, penuntutan sampai ke pengadilan benar-benar kasus yang bisa mereka ‘menangkan’. Menurut aktivis hukum, justru angka yang tinggi itu mencakup orang yang dipaksa oleh sistem ini untuk mengakui apa yang tidak mereka lakukan karena iming-iming proses yang lebih cepat dan hukuman yang lebih ringan. Baru saja ada sebuah kasus dugaan pencurian nasi kepal (onigiri) oleh warga negara asing yang harganya hanya 150 yen (15.000an rupiah) tapi karena yang bersangkutan tidak mengaku, mungkin ia merasa tidak melakukannya, ia ditahan selama lebih dari satu tahun. Ada banyak kasus lain yang serupa serta kasus-kasus tahanan yang harus menjalani hukuman puluhan tahun dan kemudian hari baru dinyatakan tidak bersalah. Isu ini sebenarnya juga sudah jadi perhatian dunia internasional namun sampai saat ini belum ada reformasi yang berarti.”
***
Hari-hari yang sama kini harus ia lewati. Ia harus melalui enam hingga delapan jam sehari di ruang interogasi dengan dua orang yang tidak pernah bermuka ramah. Nada bicara mereka selalu tinggi. Tidak dapat dimungkiri bahwa kondisi psikisnya mulai rapuh. Semakin hari interogasi itu semakin lama dan tekanan yang ia rasakan semakin besar. Entah sudah berapa kali Reyhan membantah semua tuduhan padanya dengan begitu rasional namun interogator selalu menemukan celah untuk membuat pernyataannya itu lemah. Sepertinya memang yang mereka cari bukan penjelasan yang masuk akal tapi celah keraguan untuk menyelipkan tuduhan mereka.
Reyhan sudah tak hafal berapa hari yang sudah berlalu dan berapa hari yang akan datang di hadapan. Kerinduan akan rumahnya hadir di pelupuk mata semakin berat. Upacara wisuda yang megah bersama rekan satu angkatannya mungkin hanya tinggal cerita. Pendapat sahabat dan orang-orang yang ia kenal mungkin kini sudah berbeda. Seberapapun ia menahan untuk tegar, sampai akhirnya ia runtuh juga. Malam-malam yang sepi ia harus lewatkan sendiri di dalam ruang tahanan tapi sebenarnya yang ia butuhkan adalah lapangan luas untuk berteriak meluapkan semua perasaannya. Kini, ia hanya bisa bersandar dan menangisi keadaannya. Dalam tangisannya itu ia meratapi nasibnya di negeri itu.
“Sebenarnya untuk apa aku ke sini?”
“Salah apakah yang aku perbuat sehingga pantas diganjar seperti ini ya Allah?”
“Mungkin jika aku harus melibatkan diri di program Masjid yang akhirnya berujung seperti ini?”
…
“Brak.” Suara meja digebrak. Petugas interogasi itu naik pitam.
Reyhan terkejut.
“Anda datang ke Jepang sebagai misionaris untuk menghasut orang kan? Hanya saja berpura-pura menjadi pelajar.”
“Saya datang sebagai pelajar, itu status sah di visa dan izin tinggal saya.”
“Lalu mengapa Anda ikut kegiatan keagamaan di sini? Apa sebagai kamuflase agar bisa meradikalisasi orang?”
“Dimanapun saya, saya akan tetap menjalankan agama yang saya yakini dan apa yang Anda tuduhkan sebagai pencucian otak itu sebenarnya hanyalah undangan makan. Itu hanya dialog.”
“Orang asing, sampai kapan Anda akan berbohong dengan kami hah?”
“Saya sejak awal hanya menyampaikan kebenaran. Mengapa Anda tidak coba telaah dengan baik apakah bukti yang Anda pakai itu kuat? Foto itu benar saya makan dengan pelaku tapi siapa yang mengambil foto dengan sudut sebaik ini? Jelas ini bukan CCTV! Ini adalah suatu skenario yang sudah disiapkan untuk menjebak saya. Surat tulisan tangan itu, saya tidak pernah menulis apapun tentang itu. Silakan uji dengan tulisan tangan saya yang lain, pasti tidak akan cocok.”
“Saya sudah mendengar itu puluhan kali sejak Anda di sini. Katakan yang sebenarnya! Brak! Orang tua Anda tidak ada di sini, mereka tidak peduli dengan Anda dan tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menolong Anda.”
“Begini saja, Anda pasti sangat ingin pulang ke negara Anda bertemu keluarga Anda. Anda akui saja kalau Anda melakukan itu dan kami akan mempercepat proses ini dan meringankan tuntutan hukuman Anda karena kami menganggap selama proses ini Anda sudah kooperatif. Bagaimana? Kesepakatan yang menguntungkan bukan?”
Reyhan diam tanpa sepatah kata.
Ia teringat tentang apa yang disampaikan Tomohisa lalu. Kesepakatan untuk ‘bunuh diri’ ini akan keluar dari mulut mereka.
“Hei, jawab!” bentak orang itu.
“Orang ini ternyata keras kepala. Anda pikir dengan cara Anda ini bisa menyelamatkan Anda dari hukuman Anda pikir siapa yang akan mengeluarkan Anda dari sini? Ini negara Jepang, kami tidak akan membiarkan kriminal seperti Anda bebas di sini.”
Reyhan tertunduk diam. Jiwanya serasa disudutkan mendengar bentakan-bentakan itu. Harga dirinya direndahkan untuk mengakui skenario busuk yang Matsumoto rencanakan. Perkataan yang berulang-ulang mengendap di memori bawah sadarnya dan akhirnya dia mulai ragu dengan dirinya sendiri.