“Yuka-chan, apa yang membuatmu yakin?” tanya Ibunya.
“Apa yang membuat Ibu yakin ketika dulu menerima lamaran Ayah?”
“Lo kok malah tanya ibu balik?”
“Kan aku sama Ibu sama-sama perempuan. Mungkin apa yang membuatku yakin juga dulu ibu merasakannya”
“Ketika Ayahmu datang melamar ibu dulu, ibu hanya merasa dia orang yang tepat meski waktu itu Ibu sebenarnya belum punya rencana untuk menikah”
“Mengapa bisa merasa ayah orang yang tepat untuk Ibu?”
“Setiap orang pasti punya harapan ingin memiliki pasangan hidup seperti apa. Mungkin orang yang cerdas, pekerja keras, lucu dan lainnya. Mungkin juga orang itu adalah orang yang selama ini kita kenal dan ada di dekat kita sehingga kita sudah tahu karakter dan sifatnya. Kalau ternyata orang seperti itu datang melamar, kira-kira apa alasan untuk menolaknya?
Yuka mengangguk mencoba memahami maksud perkataan Ibunya.
“Tapi, mungkin jika merasa waktunya belum tepat bagi kita mengapa harus dipaksakan untuk diterima Bukankah kita punya target hidup yang ingin kita capai juga atau calon pasangan dengan kriteria tertentu?”
“Hmm, bisa jadi benar. Memang tidak perlu dipaksakan jika menurut kita waktunya belum tepat. Tapi..
“Tapi?”
“Tapi asalkan rela kehilangan dan melihat orang yang sebelumnya hendak melamar bersanding dengan orang lain.”
Yuka terdiam.
“Ibu waktu itu percaya kalau cinta itu bisa diperjuangkan, bisa diupayakan, bisa ditumbuhkan bersama. Jadi ketika Ayahmu dulu datang dan melamar, walaupun kami belum kenal lama, Ibu percaya pada keseriusannya dan tidak ada sesuatu yang membuat Ibu harus menolaknya. Ibu bisa saja menolak waktu itu dan memilih untuk menunggu sampai orang yang tepat datang dan di saat yang tepat juga. Tapi kapan? dan apakah benar kita satu-satunya yang ada dalam hatinya ataukah dia punya nama yang lain Satu hal lagi, memang setelah menikah kita bukanlah orang yang sama seperti sebelumnya sama dengan pasangan kita. Kita punya batasan-batasan serta kewajiban yang baru. Mungkin yang sebelumnya kita bisa semaunya setelah menikah tidak lagi. Namun, itu semua dapat dijalani bersama. Satu yang Ibu ingat dari Ayahmu dulu adalah ketika di awal pernikahan Ayah menanyakan ini pada Ibu, Apa impian dalam hidupmu yang ingin kamu capai? Ceritakan padaku dan mulai hari ini kita akan mewujudkannya bersama karena impianmu dan impianku jadi impian kita”
“Ah, kenapa Ayah so sweet sekali. Baru kali ini aku dengar itu dari Ibu. Aku jadi kangen Ayah.”
“Ibu pun sama. Berarti keputusan Ibu untuk menerima Ayahmu dulu tepat tidak?”
Yuka kembali menangguk namun kali ini perasaannya lebih yakin dari sebelumnya.
“Yang jelas menikah itu bukan satu perempuan dan satu laki-laki yang tepat dan memutuskan menikah lalu kemudian hidupnya akan selalu bahagia selamanya”
“Lantas bagaimana?”
“Menikah itu, sayang, seperti menyemai benih. Meski benih yang ditanam adalah benih yang terbaik tapi kita masih harus merawatnya dari hama dan penyakit, memberinya pupuk agar tumbuh subur, menyiangi jika ada rumput-rumput liar, memberinya obat untuk mengusir hama dan penyakit. Dengan begitu benih yang baik dapat tumbuh menjadi tanaman yang subur dan menghasilkan buah yang diinginkan. Jadi?”
“Maksudnya, jadi apa?”
“Bukan jadi apa. Jadi siapa dia?” Ibu tersenyum menatap anak gadisnya yang kini sudah dewasa itu.
Pipi Yuka sekejap merona merah mendengar pertanyaan itu. Ibunya juga tahu tentang Yusuke meskipun ia tidak tahu persoalan fikih yang Yuka sempat tanyakan pada Imam Omar.
“Ah, bukan apa-apa Ibu. Mungkin suatu saat Yuka akan ada dalam situasi seperti itu”
“Suatu saat atau saat ini Kita sudah … ”
Yuka menghela nafas panjang.
“Sebenarnya, ada seorang pemuda yang sudah cukup lama aku kenal di kampus. Ia dari Indonesia. Seorang muslim. Jujur, sejauh yang aku tahu dia orangnya baik dan sangat menghargai perempuan”
Ibunya kini tahu bahwa yang ada di hati anaknya itu bukan nama Yusuke, teman SMAnya dulu yang sempat ia ceritakan.
“Lalu apa yang membuatmu ragu Yuka-chan?”
“Aku ragu karena di saat yang sama seorang temannya dari Indonesia, yang aku juga kenal dekat, sangat berharap bisa dengan pemuda ini. Aku merasa aku tidak lebih baik dari dia”
Air mata yang mengalir kini tak tertahankan. Yuka memeluk Ibunya erat.
“Ibu paham perasaanmu sayang. Kamu yang paling tahu apa yang harus dilakukan”
“Bu, apakah kita harus berkorban demi kebahagian orang lain?”
“Mungkin masih ada cara lain agar tidak ada yang perlu merasa berkorban untuk satu sama lain sayang”
***
Reyhan mendapat kabar bahwa ia diterima bekerja di salah satu perusahaan di Fukuoka. Sebetulnya, ia tidak yakin bisa diterima dengan mudah seperti itu jika tanpa koneksi dan rekomendasi dari Prof. Yamada, pembimbingnya dulu.Perusahaan yang menerimanya itu salah satu rekan kerjasama riset Prof. Yamada, mereka justru senang jika ada bimbingan Prof. Yamada yang bekerja di sana. Dengan status sebagai pekerja, ia bisa memiliki izin tinggal yang lebih leluasa. Rencananya, ia akan bekerja 2-3 tahun baru kemudian melanjutkan untuk S3 mungkin di Jepang atau di tempat lain.
Saat jam makan siang, ponsel Reyhan berdering. Ada sebuah pesan masuk.
“Reyhan, apa pekan ini kamu ada waktu untuk kita bicara sebentar?”
“Apa ada sesuatu yang penting Reyhan mengira kalau ini terkait dengan lamarannya yang disampaikan oleh Imam Omar. Namun, ia tidak menerka kalau Yuka akan menghubunginya langsung. Dengan karakter Yuka yang ia kenal dulu, mungkin ia hanya akan memberi jawaban iya atau tidak saja untuk lamaran itu.
“Iya. Apa kita bertemu di tempat ini hari Minggu ini?." Yuka melampirkan tautan lokasi tempat yang ia maksud.
“Baiklah” Reyhan mengonfirmasinya singkat.