“Brother Reyhan, saya akan menjadi wali untuk sister Yuka. Apakah kamu sudah siap?”
“Insyaallah Imam.”
“Para saksi bagaimana?”
Brother Faisal, Pak Heru menangguk. Mereka berdua duduk mengapit Reyhan.
Reyhan memalingkan muka ke kanan sesaat, memandang wajah Ayah dan Ibunya yang duduk di barisan depan. Ayahnya mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum dan meraih dan menggenggam tangan Ibu Reyhan yang duduk disampingnya. Mungkin itu mengisyaratkan bahwa mereka tak sabar ingin melihat salah satu momen penting dalam hidup anaknya itu. Keputusan yang sudah dipertimbangkan untuk dipilih. Karena kemantapan Reyhan itu, kedua orang tuanya memberi restu dan juga ingin datang ke Fukuoka untuk menyaksikan langsung akad nikahnya.
Lantai dasar (basement) Masjid As-Salam Fukuoka yang semula riuh kini hening, membuat proses sakral akad nikah dapat berlangsung dengan hikmat. Tamu undangan duduk bersila di lantai, di atas karpet merah. Sebagian besar tamu yang hadir adalah masyarakat Indonesia yang saat itu sedang studi, bekerja ataupun menetap di Fukuoka. Selain itu, ada beberapa dari mahasiswa muslim internasional yang Reyhan kenal turut hadir. Semua mata mulai tertuju ke hadapan. Beberapa orang siap dengan kameranya mengabadikan momen itu. Dalam balutan nuansa gaun pengantin putih, Yuka duduk di samping Ibunya. Hiasan pernak-pernik pada gaunnya membuatnya paling memesona hari itu. Jilbab dan make up tipis di wajahnya yang membuatnya terlihat anggun namun juga sederhana. Yang jelas, semua orang dengan mudah tahu siapa mempelai wanitanya pada hari itu.
Imam Omar berdiri dari kursinya menghadap hadirin di ruangan itu.
“Hadirin sekalian,” suara Imam Omar terdengar menggema di ruangan itu. “Kita akan mulai proses akad nikahnya. Sebelumnya, saya akan menyampaikan khutbah nikah untuk kedua mempelai dan juga untuk semua dari kita yang hadir pada acara ini.”
Setelah khutbah nikah singkat itu selesai, Imam Omar kembali duduk di kursinya dan proses ijab kabul dimulai. Imam Omar kemudian mengucapkan kalimat ijab lalu kemudian disambut oleh Reyhan.
“I accept. Saya terima,” Reyhan menjawab dengan singkat namun mantap, sesuai yang diajarkan oleh Imam Omar.
Senyuman kebahagian hadir di wajah kedua mempelai yang telah resmi menjadi suami istri itu. Yuka hadir menghampiri Reyhan dan memberikan tangan kanannya untuk disematkan cincin pernikahan.
Dengan penuh debar-debar di dadanya, Reyhan menyambut tangan itu. Ia pelan-pelan menyematkan cincin ke jari manis seorang perempuan di hadapannya. Setelah itu, Yuka meraih tangan Reyhan dan menciumnya. Saat itu Reyhan menaruh tangan kirinya di kepala Yuka dan mengucap doa lirih,
“Allahumma inni as'aluka min khairiha wa khairimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya.”
Hadirin yang ramai juga ikut menyaksikan dan mengabadikan momen syahdu itu. Kedua orang tua Reyhan dan Ibu Yuka tidak kuasa membendung deraian air mata haru saat melihat anaknya kini akan menempuh fase hidup yang baru di hidup mereka.
“Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma wa jamaa bainakuma fi khoir.”
“Mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan.” Doa itu berulang-ulang menguntai dari lisan banyak tamu yang hadir saat itu untuk kedua mempelai, sebagaimana yang diajarkan Baginda Nabi Rasulullah saw. Doa yang sama diucapkan dalam hati seorang perempuan yang duduk agak jauh karena ia sengaja ingin tak terlihat. Ia hadir dan ikut menyaksikan acara ijab dengan hikmat tapi perasaan yang teraduk-aduk. Meski sudah mengikhlaskan semuanya dan memutuskan untuk hadir, tapi hatinya tak sepenuhnya bisa ia kendalikan. Sebelum ia terlarut dalam perasaan itu, ia lantas beranjak dari tempat itu dan pulang. Ia ingin menghilang saja, agar semuanya bisa kembali seperti sedia kala dan Yuka pun tak perlu merasa bersalah dengan pilihannya, karena memang ia tidak salah.
“Takdir Allah tak pernah salah, hati inilah yang harus dididik untuk berprasangka baik dan menerimanya penuh rida,” gumamnya. Semenjak itu, ia berjanji untuk melanjutkan hidupnya, mengejar mimpi-mimpinya di depan, dan yang utama menuntaskan kuliah doktoralnya.
Tak ada riuh tabuhan rebana yang diiringi untaian pujian untuk Baginda Nabi. Tak ada juga talian balas-berbalas pantun layaknya di kampung halaman Reyhan. Namun, peristiwa dua orang manusia yang mengikat janji pernikahan selalulah akan jadi peristiwa yang megah. Kalimat yang diucapkan tidak hanya didengar dan ditulis oleh manusia tapi juga disaksikan oleh para Malaikat dan Zat yang menciptakan dan mempertemukan keduanya, Allah Swt. Dialah sebaik-baik sutradara bagi hamba-Nya.
***
“Sayang, tell me about your dream?. Ceritakan aku tentang impianmu?”
“My dream. Mimpiku?”
“Iya.”