Adel menikmati hari-harinya yang terasa semakin seru karena Ayra ikut membuli, ya walaupun Ayra hanya diam saja atau melakukan hal kecil yang diperintahkan Adel. Setidaknya Adel merasa puas melihat ekspresi teman-teman Ayra yang kesal, terutama Keyna yang merupakan pacar dari laki-laki yang ia suka, Galen.
"Sorry ya Guys. Gue lagi nggak pengin nge-Mall sekarang," kata Adel begitu ia diantarkan pulang oleh dua temannya.
"Iya santai aja," jawab Shafaa yang duduk di bangku belakang.
Adel mengangguk lalu turun dari mobil Alya saat sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Ayra tidak pulang bersama mereka karena dijemput oleh Kak Ervan.
Tanpa menunggu mobil temannya pergi, Adel berlalu masuk ke halaman rumahnya yang luas mungkin bisa disebut mansion. Adel bahkan harus berjalan sekitar dua puluh meter untuk sampai di depan pintu rumah.
“Iya Mama juga pengin, tapi gimana ngomongnya ke Adel, mama nggak tega. Pasti dia syok banget.”
Samar-samar Adel mendengar ucapan mamanya saat ia akan masuk ke rumah. Ada apa? Kenapa namanya disebut. Dari pintu terlihat kalau Kak Ervan, Ayra, dan mamanya sedang berbicara serius. “Ngomong apa, Ma?”
Kan. Mereka terkejut dan menoleh ke arah Adel secara serempak, berarti mereka sedang berbicara serius.
“Ngomong apa ke Adel? Apa yang bakalan bikin syok?” tanya Adel saat sudah berdiri di depan mamanya. Adel merasa ada yang aneh, mamanya menangis, wajah Kak Ervan dan Ayra juga tegang.
Grep!
Lebih aneh lagi Mama Sindi memeluk tubuh Adel. Bingung? Pasti, apalagi mendengar mamanya yang terisak saat memeluknya. Kan Adel jadi deg-degan, takut ada hal-hal tidak terduga.
“Mama kenapa?” tanya Adel saat Mama Sindi masih memeluk tubuhnya, isakan itu baru pertama kali Adel dengar dari sang ibu. Biasanya sebandel apapun dirinya, Mama Sindi hanya ngomel-ngomel, tidak pernah menangis seperti ini.
Adel menatap mata mamanya saat Mama Sindi melepas pelukan mereka. Mata itu? Kenapa hati Adel merasa itu tatapan kesedihan ya?
“Mama udah nggak bisa lanjutin pernikahan mama sama papa, Kamu ikut Mama ya?” ucap mama Sindi di tengah isakannya.
Adel terdiam. Sangat terkejut dengan ucapan mamanya. Semua orang tahu, pertanyaan itu adalah pertanyaan keramat untuk setiap anak. Mata Adel menelisik lebih dalam ke mata Mama Sindi dan tidak ada kebohongan di sana, walaupun hasilnya nihil. Tatapan itu jujur dan penuh rasa sakit. Sama seperti hatinya saat mendengar kaliamt tersebut.
“Ce-cerai Ma?” tanya Adel tidak percaya. Dunia Adel terasa runtuh Ketika Mama Sindi menganggukkan kepalanya.
“Enggak. Mama sama Papa selama ini baik-baik aja, kenapa harus pisah?” tanya Adel yang berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau ini adalah mimpi, mamanya hanya sedang bercanda.
“Kenapa, Ma?” tanya Adel sekali lagi, air matanya luruh bersamaan dengan suaranya yang lirih.
“Papa selingkuhin Mama.”
Adel menoleh pada sang kakak yang baru saja menjawab. Menggelengkan kepalanya dengan keras lalu kembali menatap mata mamanya dengan tatapan penuh permohonan.
“Maa…” Adel merengek, membuat mata Mama Sindi terpejam, hanya sekejap karena setelah itu Mama Sindi tersenyum. Senyum manis yang sangat dipaksakan.
“Kita pindah, mama udah nggak mau serumah sama papa,” ucap mama Sindi. Adel yang sedang mengusap air matanya pun kembali menggeleng, gelengan kuat yang semoga saja meruntuhkan keputusan mamanya.
“Enggak!”
Adel berlari menaiki anak tangga seraya berteriak, ia tidak mau pindah, Adel masih mau di rumah ini.
Begitu sampai di kamar, Adel meluruhkan tubuhnya, bersandar pada pintu dan berteriak. Ia benci kalimat yang baru terucap dari mamanya, ia benci perceraian orang tua.