Sampai sore, Adel masih mengenakan baju olahraga milik Langit, belum ingin menggantinya karena nyaman saja digunakan. Sampai-sampai Kak Ervan yang baru pulang kerja melihatnya dan tentu menatap dengan curiga.
"Baju olahraga siapa? Cowok lo?" tanya Kak Ervan duduk sebelah sang istri. Ayra dan Mama Sindi memang sedang duduk di ruang keluarga dengan Adel yang terus melamun.
"Bukan," jawab Adel ketus.
"Kalo cowok lo, bawa ke rumah, temuin Kakak!" tegas Kak Ervan. Adik perempuannya tidak boleh dengan sembarang cowok, ia harus melihatnya langsung terlebih dahulu sebelum lanjut berhubungan dengan Adel.
"Dibilang bukan juga," kata Adel lagi. “Tanya tuh sama Ayra.”
Kak Ervan melihat ke arah Ayra dengan tatapan bertanya, membuat Ayra yang semula sedang memakan rengginang pun menjawab, “Temen aku. Yang kalem itu loh, pernah beberapa kali liat padahal.”
"Yang mana? Temen cowok kamu banyak," bingung Kak Ervan yang belum ngeh.
Ayra menghela napas, sudah tua sih jadi pelupa, “Yang pernah hampir nabrak mobil kamu, pas nganterin aku sama Adel.”
Kak Ervan tampak berpikir, sepertinya samar-samar ia mengingatnya. Bialah, nanti juga benar-benar ingat.
“Lo ada pelajaran olahraga tapi nggak bawa baju lo apa gimana?” tanya Kak Ervan. Kan aneh kalau tidak ada hubungan apa-apa tapi pakai baju cowok, sebaik itu kah hingga meminjamkan Adel baju?
Adel tampak diam sejenak lalu memperbaiki posisi duduknya, sepertinya Adel harus bercerita. “Ma, Kak, jadi gini ….”
Kak Ervan dan Mama Sindi mendengarkan semua penjelasan Adel dengan seksama yang bercampur emosi. Kalau Ayra, kakak ipar Adel itu sudah tahu karena video itu menyebar di kalangan murid Trisatya.
“Buka identitas sebagai adik gue kalau kaya gitu,” kata Kak Ervan, cukup tegas. Kakak mana yang terima kalau adiknya dicaci maki dan diperlakukan layaknya sampah seperti itu.
Adel tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya, “Gue nggak mau berlindung di balik nama lo, apa bedanya sama gue yang sebelumnya? Sama-sama berlindung sama kekuasaan orang lain. Kalian sendiri kan yang bilang kalau gue suruh latihan dewasa?”
“Lo adik dari pemilik sekolah itu sendiri, tapi lo diperlakukan nggak pantes kaya gitu. Apa nggak keterlaluan?” kata Kak Ervan. Ia kira sekolah elit, pemikiran muridnya pun elit, ternyata sama saja.
Adel tetap menggelengkan kepalanya, “Nggak. Gue juga sebelumnya keterlaluan, Gue bunuh mental banyak orang Kak.”
“Sayang, tapi Mama nggak terima anak yang mama besarin dengan susah payah diperlakukan kaya gitu sama orang lain,” kata Mama Sindi menyuarakan ketidakterimaannya.
Adel menggapai jemari mamanya, “Ma,” kata Adel pelan dengan tatapan yang tertuju pada netra sang mama, “Orang tua-orang tua dari siswa yang Adel buli juga pasti bilang kaya gitu, mereka ngerasain hal yang sama. Jadi, biarin Adel rasain jadi mereka, itu bagian dari tanggung jawab Adel dari apa yang udah Adel lakuin selama ini.”
Mendengar penuturan yang begitu dewasa dari mulut sang putri, membuat Mama Sindi memeluk Adel. “Bangga banget sama anak mama ini.”
Ayra yang sedari tadi menyimak pun tersenyum tipis, di dalam tubuh Adel masih mengalir darah mama Sindi yang begitu penyayang, walaupun bercampur dengan darah ibl*s dari Willy, Adel pasti masih punya kepribadian baik, tidak mungkin kan kalau manusia itu sangat-sangat jahat? Pasti ada sisi baiknya juga.
“Mama bilang bangga sama Adel nanti aja, kalo Adel udah jadi anak yang baik dan bisa beneran banggain mama,” balas Adel. Dirinya yang sekarang belum bisa dibanggakan. Hanya seorang yang sedang mencoba memperbaiki diri, itu pun atas bantuan mama, kakak, dan kakak iparnya yang mengajarkan kebaikan pada perempuan sepertinya. Yang kata Langit seperti set*n.
“Mama selalu bangga sama anak-anak mama. Rasa kecewa sama kelakuan buruk kamu aja udah lenyap karena keberanian kamu buat tanggung jawab. Intinya mama sekang pun bangga sama kamu, apalagi nanti,” kata Mama Sindi yang matanya sudah berkaca, tidak sia-sia ia membawa Adel hidup miskin selama sebulan di rumah sewa Ayra.
Senyum tipis terbit dari bibir Adel, ternyata melakukan sebuah kebaikan kecil membuatnya lebih bahagia daripada berbuat buruk. Apalagi ia sedang mengalami cepatnya roda kehidupannya berputar. Walaupun rasanya lebih ke dijungkir balikkan secara paksa.
Mama Sindi dan Adel menguraikan pelukan hangat mereka, membuat Adel mengalihkan pandangannya pada sang kakak, “Kak, jangan bongkar identitas gue sekarang ya? Biarin gue nyoba berdiri di atas kaki gue sendiri, tanpa dibantu Kakak.”
Walaupun berat membiarkan adiknya yang begitu menyebalkan itu menderita, tapi Kak Ervan mengangguk. Membiarkan Adel mengambil langkahnya sendiri, menjalani kerasnya menjadi orang-orang yang tidak punya kekuasaan setelah sebelumnya berlindung di balik kekuasaan.
“Kemarin-kemarin lo mohon-mohon supaya identitas lo sebagai adik gue dibongkar biar bisa lebih berkuasa di sekolah, tapi sekarang lo malah mohon hal yang sebaliknya. Tapi gua bakal turutin,” kata Kak Ervan.
“Kalo capek berhenti dulu ya, istirahat. Cerita ke gue masalah lo nanti, setidaknya bahu gue selalu ada buat lo bersandar,” kata Ayra yang baru ikut bersuara.
Mendengar ucapan orang yang dulu begitu ia benci membuat Adel beralih memeluk Ayra, “Makasih untuk lo yang nggak ikut benci sama gue.”
“Sama-sama. Kuat ya? Sebisa mungkin jangan balas mereka dengan kejahatan, cukup pembelaan diri kalo emang udah keterlaluan,” sahut Ayra. Begitu melihat video Adel yang dilempari sampah sudah bisa membuat Ayra meneteskan air matanya karena tidak tega, mungkin bawaan hamil juga jadi ia cengeng.
Adel mengangguk, ia memang harus kuat, semuanya baru saja dimulai. Masih ada proses panjang menjalani hukuman Tuhan atas semua perbuatannya.
Sampai malam, Adel belum berniat melepas baju olahraga Langit, bahkan ia belum mandi. Adel menatap pantulan di cermin full body di kamarnya yang memperlihatkan baju Langit yang tentunya menenggelamkan tubuh kurusnya, Adel tidak terlalu pendek ya, karena Adel suka berenang.
Senyum tipis terbit saat ia membanting tubuhnya ke kasur dan menatap langit-langit kamarnya yang bercat putih. Padahal ia melihat langit-langit kamar yang merupakan benda mati, tapi pikiran Adel tertuju pada Langit yang merupakan manusia, cowok yang memeluknya tadi saat semua orang menyerang tanpa ampun.
Bayangan-bayangan perlakuan Langit tadi di sekolah terus berputar di kepala Adel, dari Langit memeluknya, membersihkan rambutnya dengan lembut, memberikan baju olahraganya, dan memberikan bahunya saat ia menangis. Cowok yang pernah mencuri tissue toilet itu begitu manis hari ini, yang tentunya membuat Adel tidak terlalu merasakan sakitnya hari ini.
Senyum Adel semakin lebar, namun hanya berlangsung selama tiga detik. Karena setelahnya Adel menggelengkan kepalanya dengan cepat, juga mengusap wajahnya. “Sadar Del, masa lo suka sama Langit sih?”
Sebelum pikirannya kemana-mana Adel memilih bangkit dari rebahannya dan mandi. Ia akan berganti baju kok, tidak seperti kata anak-anak Trisatya yang bilang kalau ia tidak akan mandi seminggu karena mendapatkan baju Langit. Sama-sama baju kan? Apa istimewanya.
*****
“Aduh, besok ada jam olahraga lagi. Baju gue kan masih di ratu buli itu,” monolog Langit saat sedang membaca jadwal pelajaran untuk besok. Mana sudah malam, tidak tau nagihnya ke siapa pula. Tidak ada nomor whatsapp Adel.
“Ah Ayra,” kata Langit saat menemukan orang yang tepat untuk ia hubungi.