#GIANDRA POV
Aku sering sekali mendengar bahwa Tuhan itu adil. Aku rasa perkataan itu benar. Ibuku punya dua anak. Aku dan kakakku. Aku tidak cantik, tapi aku pintar. Sedangkan kakakku cantik, tapi dia kurang bisa memanfaatkan otaknya untuk berpikir. Banyak orang yang beranggapan punya anak pintar adalah sebuah kebanggaan, tapi ibuku tidak, nyatanya dia lebih bangga mempunyai anak 'berjuluk' selebritis. Iya. Dia kakakku. Anabela. Kami selalu memanggilnya Bela. Kak Bela adalah kebanggaan ibu bapakku. Bagaimana tidak, hampir 80% kebutuhan keluarga kami, Kak Bela yang memenuhi. Perlengkapan rumah, kebutuhan sehari-hari, bayar listrik, bahkan uang sekolahku.
Apa dia sehebat itu? Tentu saja. Walau aku malas setengah mati jika ada dia, tapi harus kuakui. Dia itu lumayan hebat. Baru masuk dunia hiburan, dia sudah memainkan peran utama disebuah film layar lebar. Iklan yang memakai jasanya pun cukup banyak, aku sering sekali melihat wajah kakakku sendiri di mini market, dan aku cukup bangga untuk itu.
Kehidupan kami berubah ketika Kak Bela masuk ke dunia hiburan. Ibuku adalah penjahit dan bapakku adalah pengangguran yang punya hutang akibat bisnis yang gagal. Uang hasil kerja keras ibu, hanya cukup untuk membayar hutang ke bank. Sebelum Kak Bela terkenal seperti sekarang, hidup kami benar-benar menyedihkan. Makan hanya satu kali sehari. Itupun hanya dengan nasi dan telur ceplok atau tahu satu potong. Bahkan, kami pernah hanya makan dengan nasi kecap ditambah kerupuk. Aku tidak akan pernah lupa kejadian itu. Kejadian yang membuatku menjadi seperti sekarang. Aku harus kuat menjalani kerasnya hidup. Aku harus mampu membanggakan kedua orangtuaku sama seperti Kak Bela. Ah sepertinya aku terlalu membanggakan dia. Jika tahu, dia akan besar kepala nanti.
Bicara soal kakakku itu. Dia memang cantik, walau dia sedikit lemot. Banyak orang yang mengaguminya, tapi aku tidak. Aku sangat membencinya. Dia tidak seperti apa yang mereka lihat. Dia selalu menampilkan kesempurnaan di media sosial miliknya. Padahal, aku tahu sendiri bagaimana kehidupan yang dia jalani. Itu membuatku malas melihat dia. Karena dia juga, aku menjadi sorotan teman-temanku.
"Adik Arabela kok jelek ya, enggak secantik kakaknya..."
Ini salah satu kalimat yang sering aku dengar. Iya, mereka memang benar. Aku tidak secantik Kak Bela. Mereka pun mengenalku sebagai adiknya Arabela. Bukan sebagai diriku sendiri. Ini hal yang paling membuatku muak dengannya. Aku ingin semua orang mengenalku sebagai siapa aku bukan sebagai adiknya artis. Aku benci kenyataan kalau aku adalah bayangan dari kakakku sendiri. Padahal kan aku tidak buruk-buruk amat.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu kamarku. Tak lama setelah suara itu berhenti. Ibuku muncul.
"Anterin ibu, yuk. Beli bahan kue."
Kue? Ah iya. Hari ini Kak Bela ulangtahun. Sejak dulu, ibuku selalu berusaha untuk menyenangkan kedua putrinya di hari lahir kami.
"Sekarang banget nih, Bu?"
Ibuku mengangguk. Lalu menarik selimutku.
"Ayo. Nanti enggak keburu. Kakak kamu mau dateng siang."
Ya tuhan. Bagiku. Tidur sampai siang di hari minggu adalah kenikmatan. Sekarang kenikmatanku harus kandas karena Kak Bela. Menyebalkan.
"Aku belum mandi ih ibu." Kataku merengek.
"Yaudah, cuci muka sama sikat gigi aja sana. Jangan mandi. Kelamaan."
"Ayo!" Kata Ibuku melanjutkan.
*****
Aku mengikuti ibuku dengan gerakan malas, sambil membawa barang belanjaan yang sudah dibeli. Ibuku ini sangat cekatan. Seperti rumah sendiri, ibu sangat hafal setiap sudut pasar ini.