Pagi yang cerah. Aku berharap hariku pun cerah. Setelah bangun pagi tadi, aku langsung bergegas mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Mungkin, sekolah adalah salah satu tempat kesukaanku setelah kamar. Aku menatap bayanganku di cermin. Kalau dilihat-lihat, aku ini tidak buruk-buruk amat. Mengapa mereka selalu berkomentar seolah aku adalah monster buruk rupa. Aku menatap lebih dalam wajahku, ternyata aku ini manis juga. Maklum setiap berhadapan dengan cermin, tingkat percaya diriku selalu bertambah. Tidak mau terlalu lama halu, aku mengambil ikat rambut di nakas lalu menguncir rambutku menyerupai buntut kuda.
"Diurai sekali-kali. Pasti banyak yang suka."
Aku mencari sumber suara. Itu Kak Bela, dia menginap di sini. Dia masih menggunakan baju tidur, sepertinya dia baru bangun.
Aku mengabaikan perkataan kakakku itu sambil terus bersiap. Ketika merasa cukup. Aku berjalan melewati kakakku menuju meja makan. Lebih baik aku cepat makan dan pergi. Sebelum Kak Bela terus-terusan bicara.
"Pagi anak bapak yang cantik."
Aku tersenyum ke arah bapak. Hanya bapak yang menyebut aku cantik.
"Pagi, bapak."
Sarapan pagi ini, nasi goreng dengan telur dadar. Aku melirik ibu sekilas. Ibu sedang menyiram tanaman. Bagi ibuku, tanamannya sudah seperti anak sendiri. Ibu selalu menjaga dan merawat tanamannya agar tumbuh dengan baik. Tidak boleh ada satu orang pun yang menyentuhnya selain ibu, apalagi sampai rusak. Aku ingat waktu itu bapak tidak sengaja menyengol tanaman ibu hingga potnya pecah. Saat itu ibu sangat marah kepada bapak. Bahkan ibu tidak menegur bapak seharian. Kalau dipikir-pikir lagi ibuku itu seperti anak kecil yang dirusak mainannya.
Mataku beralih kepala penampakan nasi goreng di depan. Sangat menggiurkan. Kuambil piring dan sendok lalu menyendok nasi di dalam mangkok besar, tapi pergerakan tanganku dihambat oleh sebuah sendok yang menekan sendokku. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Kak Bela. Kami memang sering bertengkar. Apalagi soal makanan. Aku juga tidak akan kalah darinya. Aku mengambil kembali sendokku lalu menimpa sendoknya. Alhasil terjadi perang di meja makan itu. Dengan cepat aku mengambil nasi. Nasi punyaku harus lebih banyak darinya. Setelah mendapatkan banyak nasi, Kak Bela mengambil nasi di piringku, tentu saja tidak akan kubiarkan. Aku mengambil kembali nasi di piringnya. Lihat saja, aku tidak akan sudi berbagi dengannya.
"Kalau masih kurang, makan yang bapak aja. Jangan bertengkar."
"Kakak duluan tuh, Pak."
"Aku kan jarang di rumah. Kamu sering. Ngalah apa."
Dia sepertinya menabuh genderang perang. Lihat saja. Tidak aka kubiarkan.
"Kok berantem gitu saja. Nanti ibu buatkan lagi kalau kurang."
Aku melirik kakakku, dia menjulurkan lidahnya. Kalau saja hari ini aku libur, aku siap berperang dengannya sampai sore bahkan sampai malam, tapi untuk hari ini, aku mengalah, memakan nasi dipiringku.
Setelah nasi di piringku habis. Aku bergegas pergi ke sekolah. Aku berpamitan dengan bapak dan ibu. Baru saja hendak pergi, ibu menahanku.
"Bela anter dong adiknya. Ayo."
Memgantarku ke sekolah? Oh tidak itu bukan ide yang bagus. Aku menggeleng.