#Bela
Setiap terang berganti gelap. Setiap pagi berganti malam. Gue benci hidup gue yang gini-gini aja. 365 hari yang gue jalani, isinya kerja...kerja dan kerja. Gue udah berulang kali berpikir buat berhenti, gue cape, walaupun gue menikmati pekerjaan ini. Kerja jadi public figure itu enggak selamanya enak. Gue udah cape jaga sikap. Gue cape hidup begini. Tapi kalau gue berhenti, hidup keluarga gue gimana nanti? Apalagi uang tabungan ibu udah enggak ada karna bapak.
Gue mengehela nafas panjang. Tiap malem, gue selalu ngerasa sendiri. Gue selalu ngerasa apa yang gue lakukan itu enggak pernah cukup buat bikin hidup gue baik-baik saja. Gue benci malam, gue benci ngerasa sendiri, dan yang paling gue benci adalah tangisan diam-diam yang keluar saat malam tiba.
Dari tadi, gue cuma bisa lihat langit-langit kamar gue, sambil merenungi kehidupan gue yang sekarang lagi berantakan. Aktivitas gue terganggu karena gue inget ada kerjaan yang belum gue kerjain.
Gue ambil kaca mata dari client. Tugas gue cuma harus pake kaca mata ini lalu berpose seolah gue menikmati dan unggah. Selesai.
Gue lihat hasil foto yang gue ambil. Dan akhirnya memilih satu yang terbaik di antara mereka untuk gue unggah.
Gue tertawa miris. Di foto itu, senyuman bisa menutupi segala kerisauan yang ada dalam diri gue. Mereka enggak akan pernah tahu kalau di balik senyum yang gue perlihatkan ke mereka, ada perasaan sedih yang harus dikubur dalam-dalam.
Handphone gue bergetar. Entah ada angin apa, tiba-tiba adik satu-satunya gue bilang kalau dia udah di bawah.
Gue ambil jaket dan langsung turun nemuin dia di tempat masuk gedung Apartemen. Dia udah pernah ke sini, cuma gue yang nyuruh, ini pertama kalinya dia datang dengan kemauannya sendiri.
"Ayo." Ajak gue ketika udah bertemu Giandra.
Giandra membuntuti gue. Gue pengen banget ketawa kenceng banget. Dia juga pasti ngerasa seperti gue sekarang. Canggung. Padahal kita adik-kakak.
"Mau minum apa?" Tanya gue ketika Giandra sudah duduk di ruang tengah apartemen gue.
"Enggak usah. Nanti ambil sendiri."
Gue mengangkat bahu, yasudah kalau tidak mau. Gue mendekatinya lalu duduk di kursi sebalahnya.
"Ada apa? Enggak mungkin kan, kamu ke sini cuma iseng?"
Giandra keliatan lagi mikir. Mungkin dia lagi nyusun kata-kata yang tepat buat jawaban atas pertanyaan gue tadi.
"Kak. Pulang yuk. Baikan lagi sama bapak."
"Kenapa memangnya? Ini juga kan rumah aku."
"Aku tahu... bapak emang salah. Aku enggak akan bela bapak, tapi kak, bagaimana pun bapak itu bapak kita."
"Aku tahu. Kasih aku waktu, Gi."
"Kakak inget kan dulu, waktu kakak deman tinggi. Bapak begadang nungguin kakak, kasih kakak obat."
"Gi. Kalau kamu ke sini cuma mau ingetin itu, kakak inget. Jangan khawatir."
Giandra kembali terdiam. Dia menundukkan kepalanya dalam.