Siang itu, aku sudah selesai dengan urusan membuat roti. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 2, aku segera bergegas mengganti pakaian kerja menjadi kemeja. Seperti halnya kemarin, sore ini aku ada jadwal kuliah.
Tepat pukul 2, aku berangkat menuju kampus yang jauhnya hampir 6 KM dari toko.
Kelas mulai pukul 3.30 sore, aku sudah sampai di parkiran pukul 2.30, masih banyak waktu untuk sampai kelas mulai. Aku pun pergi ke perpustakaan.
Perpustakaan kampusku tak seperti kampus-kampus favorit. Ini hanya sebuah ruangan berukuran 7 x 8 meter persegi yang berisi rak buku dan meja baca. Buku-bukunya juga terbilang sudah usang, tapi tidak penting bagiku. Selagi masih ada buku yang menunjang belajarku kenapa mesti mencari buku baru?
Aku sudah duduk sambil membawa sebuah buku. Aku memang hendak mencari referensi untuk tugas makalahku yang harus dikumpulkan besok pagi. Masih kurang satu poin pembahasan. Buku ini adalah acuan bagiku.
Aku mulai berkutat dengan pena yang mencatat di buku catatan beberapa hal penting dari buku bertema pranata sosial itu. Tiba-tiba, ponselku berbunyi pelan dan sesaat.
Sebuah bunyi khusus yang sengaja kuatur untuk pesan dari seseorang. Siapa lagi? Tidak lain, tidak bukan, tentu saja Kiara.
"Aku ke pantai lagi! Kamu sedang dimana? Sudah selesai kerjanya?" Ucapnya dalam pesan dengan sebuah swafoto dirinya berlatarkan pantai. Rambutnya terurai panjang mengenakan topi pantai berwarna kuning cerah. Kiara sungguh menawan ditambah dengan senyumannya.
"Aku diperpus. Cari referensi buat makalah. 1 poin lagi, nih!" Balasku cepat.
"Semangat Langit! Kalau kamu gak sibuk malam ini, aku mau telepon boleh?" Balasnya lagi.
Astaga! Buat apa Kiara bertanya hal ini? Sudah tentu boleh. Aku yang justru kadang takut kalau menghubunginya lebih dulu. Aku takut mengganggu kesibukannya yang sedang S2. Tetapi perasaanku berkata lain, walau hanya dalam tulisan, aku bisa merasakan ada hal lain yang ingin Kiara ceritakan, mengingat semalam ia meneleponku juga tanpa bilang terlebih dulu.
"Boleh. Kalau minta vidcall juga boleh." Balasku dengan sebuah emoji senyum senang.
Dia membalasku dengan sebuah emoji senyuman besar. Pertanda ia mengiyakan permintaanku yang implisit itu.
Aku tak langsung kembali membaca buku referensi. Tanganku bergerak cepat di layar ponsel, melihat kalender di sana.
Masih ada waktu enam bulan menuju bulan Maret. Ada enam kali gajian lagi berarti. Aku berniat, mulai bulan ini gajiku dari hasil bekerja juga akan aku masukkan dalam tabungan ke Jepang. Pada waktu sebelum-sebelumnya, aku hanya menggunakan uang gajian dari mengajar les saja. Les yang membuatku mesti mengorbankan sore hingga malam untuk mengajar adik-adik matematika. Namun demi melihat apa yang Kiara lihat di sana, aku mesti berhemat dengan amat cermat mulai sekarang.
Aku menggerakan jemari di layar ponsel, mengalihkan tampilan kalender menjadi internet banking milikku. Saldoku terpampang disana. Kalau aku terus giat menabung, aku bisa membeli tiket pada saat Januari atau paling tidak Februari tahun mendatang.
Aku menghela nafas sejenak. Memandang langit-langit perpustakaan yang hitam akibat tumpukkan sarang laba-laba. Pikiranku mendadak melayang jauh. Bisakah aku benar-benar pergi menemuinya? Apa benar-benar aku bisa menginjakkan kaki di tanah bunga sakura mekar itu?
Aku segera menggeleng cepat. Meragu adalah hal yang tidak baik. Hal yang akan menghambat segala langkah maupun rencana. Aku tak boleh meragu. Aku mesti berusaha dengan keras.
Mataku melirik ke arah waktu di ponselku. Sudah hampir pukul 3, lebih baik aku segera ke kelasku. Dengan cekatan, aku pun membereskan buku dan pulpen lalu beranjak dari kursi baca.