Ada sesuatu terjadi di lima belas tahun silam. Masa-masa dimana saat aku dan Kiara berada di kelas yang sama. Kami satu sekolah dasar.
Saat itu aku dan Kiara kelas lima. Katanya guru-guru, kelas lima adalah kelas yang paling banyak onar. Siswa laki-laki sering telat masuk setelah jam istirahat, kami sering bermain bola di lapangan yang cukup jauh dari sekolah. Lapangan kampung. Karena kalau main bola di sekolah kami sering dimarahi guru. Bagaimana tidak? Bola yang ditendang sering kali mengenai jendela.
Tidak hanya laki-laki yang buat onar di sekolah. Kaum hawa kelasku kerap kali ditegur guru. Tidak semua siswi memang, hanya beberapa. Beberapa itu adalah siswa genit yang sudah mulai sering membicarakan perihal asmara.
Kiara adalah anak yang pendiam di kelas. Dia jarang bergabung dengan para siswi saat menggosip. Dia lebih senang sendiri bersama catatannya. Dia sangat suka menulis, entah itu memang buah pikirannya sendiri atau sekedar menulis ulang catatan sekolah.
Kiara juga anak pintar dan rajin. Dia selalu mendapat ranking satu di kelas sejak kelas satu. Kupikir hobinya adalah menulis dan membaca buku.
Tetapi kemudian sesuatu terjadi. Beberapa siswi mengajaknya mengobrol. Akhirnya karena terpaksa ia pun menuruti para gadis itu.
Saat itu aku sedang tidak bermain di luar walau jam istirahat. Aku bersama kedua temanku Raihan dan Hadi sedang asik bermain kartu gambar di kelas. Jadi bisa dibilang, aku dan Kiara sama-sama di kelas saat itu.
Aku mendengar para siswi tertawa. Beberapa kali nama Hadi dan aku disebutkan. Sudah dapat kusimpulkan bahwa mereka menggosip. Dasar perempuan!
“Aaaa!” para siswi menjerit. Aku dan kedua temanku menoleh cepat. Lalu kembali fokus bermain dengan kartu bergambar kami. Para siswi memang sering ribut.
“Lang, aku menang nih!” ucap Hadi yang meletakkan keempat kartu bergambar animasi jepang itu di meja. Dia berhasil mengumpulkan kartu berakhiran angka 9 pada keempat kartu.
“Emang jago ya Hadi!” kataku yang kemudian mengumpulkan kartu-kartu bergambar lalu mengocoknya. Kali ini aku kalah. Jumlah nomorku adalah paling kecil.
“Kalau Kiara suka siapa?” tanya Lia yang suaranya terdengar hingga telingaku. Dia siswi yang bisa dibilang paling cantik dikelasku. Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam lurus dengan tubuh mungil. Dibanding siswi lainnya, dialah yang punya kemewahan lebih dari teman-temannya. Dia anak pengusaha ternak ayam terbesar di kotaku.
Aku berusaha tak memperdulikannya. Lagi pula itu pasti bercanda. Kiara tak mungkin menjawabnya.
Mataku melirik sesaat ke arah kerumunan siswi di meja belakang.
“Pasti Langit ya? Dia ‘kan paling ganteng disini.” Ucap seorang siswi lain.
Mendengar namaku disebut aku pun menoleh ke arah mereka. Kiara sedang duduk dikelilingi oleh mereka.
Ekspresi wajahnya sulit diartikan saat itu. Tapi satu hal yang bisa aku pastikan. Kiara tertekan berada di antara mereka.
“Lang, aku udahan.” Raihan mendadak meletakkan semua kartu dalam genggamannya lalu beranjak dari duduknya. Ia melangkah mendekati kerumunan para siswi.
“Kalian ngapain sih?” Raihan berkata lantang kepada para siswi yang sedang berkumpul itu. Aku dan Hadi juga menyudahi permainan kami. Kami beralih melihat aksi Raihan.