Selama setahun terakhir sekelas Kiara tak lagi menyapaku. Hingga akhirnya kami berpisah sekolah. Baik itu SMP maupun SMA, kami tak lagi pernah bertemu. Kemudian tibalah saat itu.
Tujuh tahun kemudian setelah kelulusan sekolah dasar. Sekolahku, tepatnya angkatanku dan Kiara mengadakan reuni di sekolah. Hal ini berbarengan dengan pelepasan dua orang guru kami yang akan pensiun. Salah satu guru itu adalah walikelasku dulu.
Hari itu hari Sabtu. Aku masih menjadi anak magang di toko Bu Galuh. Kebetulan hari itu adalah hari liburku, maka aku bisa menghadiri reuni sekolah.
Acara reuni dimulai pukul 9 pagi. Aku sudah mengajak Hadi untuk datang berbarengan. Pukul 8, Hadi datang ke rumahku. Sejenak kami bercengkerama lalu akhirnya kami berangkat menuju sekolah dengan berjalan kaki. Karena jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku, tak sampai dua puluh menit aku sudah sampai di sekolah.
Hadi dan aku satu sekolah SMP maupun SMA, rumah kami berdekatan sehingga sering berangkat bersama dulu. Kini ia juga bekerja, di peternakan ayam milik ayahnya Lia.
“Temen-temen pasti udah banyak berubah ya, Lang.” Ucap Hadi saat kami berjalan.
“Ya namanya juga udah tambah gedé, Di. Pasti berubah, dong!” kataku sambil membenarkan posisi tas selempangku.
“Ih bukan itu, Lang maksudku.” Ucap Hadi yang kemudian mendadak mempercepat langkahnya.
Aku hanya menggeleng. Membiarkan temanku yang satu ini bertingkah sesukanya. Hingga tak terasa kami telah sampai di halaman sekolah.
Hadi melihat beberapa teman sudah berkumpul. Tanpa instruksi, dia langsung menghampiri dan menyapa mereka dengan riang.
Aku mengamati sekeliling. Dekorasi perpisahan guru sudah menghiasi seisi halaman. Gedung sekolah juga telah direnovasi menjadi dua lantai. Di sana, di lantai dua terpasang sebuah banner bertuliskan Reuni angkatan XX dan pelepasan guru tercinta.
Saat mataku masih memperhatikan sekeliling, seseorang lewat di sampingku tanpa menyapa.
Dia Kiara. Rambutnya kini sudah lebih panjang dari yang dulu. Ia mengenakan kemeja biru lengan pendek berpadu dengan rok berwarna lebih gelap. Rambutnya juga terikat satu rapi dengan jepitan untuk menahan sebagian poninya.
Apakah dia masih membenciku?
“Langit!” panggil seseorang dan membuatku menoleh cepat.
Raihan menyapaku. Ia melangkah cepat dari arah gerbang sekolah.
“Ternyata kamu datang ya, Lang.” Ucapnya sambil menepuk bahuku.
“Lagi libur dan emang gak ada acara jadi ya bisa datang.” Kataku seraya melangkah, ia pun mengikutiku.
“Kamu sendiri kesini?” tanyanya sambil menoleh kanan-kiri.
“Enggak. Tadi bareng si Hadi.” Jawabku sambil menunjuk Hadi yang sedang cekikikan bersama teman-teman lain di sudut halaman. “Kamu sendiri datangnya?” tanyaku.
Raihan menggeleng. “Aku bareng Kiara, Lang.” Jawabnya sambil melihat ke depan. Pandangannya tertuju pada Kiara yang sedang mengobrol dengan salah satu guru masih muda.
“Oiya, kamu dulu satu SMP sama dia kan?” tanyaku lagi.
“Iya. Satu SMA juga.” Jawabnya.
“Oh gitu.” Kataku yang tiba-tiba kembali teringat kejadian saat kelas 5 dulu. Aku buru-buru menggeleng. Kenapa justru aku yang merasa bersalah sekarang?
“Acaranya di lantai atas ‘kan? Yuk langsung kesana!” ajaknya seraya melangkah lebih cepat.
Aku mengangguk seraya melangkah mengimbangi langkah Raihan. Aku lihat beberapa teman juga mulai menuju ruang acara. Sementara Kiara masih mengobrol dengan seorang ibu guru muda, aku tak mengenali guru itu. Mungkin guru baru, pikirku.