Hari dimana aku mesti berangkat ke kantor imigrasi kelas I di Jakarta tiba. Sebelum pukul 5 aku sudah bangun dan bersiap. Ketimbang berangkat bekerja, berangkat ke kantor imigrasi membuatku jauh lebih bersemangat. Aku kembali memeriksa map berisi dokumen-dukumen yang telah kupersiapkan sejak seminggu sebelumnya.
Yap! Lengkap!
Belum genap waktu menunjukkan pukul 6 aku sudah rapi dengan kemeja dan sebuah celana jeans berwarna biru. Aku sungguh bersemangat untuk hari ini walau rasa gugup juga melanda diriku secara bersamaan.
Hari ini kebetulan jadwal masukku siang, perhitunganku aku akan sampai di toko sebelum makan siang, atau satu jam sebelum jamku bekerja dimulai.
Usai memasukkan map ke dalam tas selempangku aku pun bergegas keluar kamar, segera bergabung sarapan bersama ayah, ibu dan Bintang.
Ibu sudah siap bersama tempe dan tahu goreng juga sayur sop. Bintang juga sudah mengenakan seragam sekolahnya. Ayah juga sudah duduk manis bersama secangkir kopi hitam.
Seperti biasa kami mulai makan. Tak ada banyak percakapan, selain pertanyaan biasanya. Hari ini tak ada yang menyinggu soal diriku dan Kiara juga.
Aku masih menekan rasa gugupku.
Sarapan usai. Aku segera tancap gas, menuju Jalan Merpati, Kemayoran, Jakarta Pusat. Aku memang belum pernah sama sekali ke sana, tetapi aku sudah memantapkan diri bahwa aku takkan meragu lagi. Melangkah Langit!
Sampai disana mataku menatap takjub gedung yang bernuansa biru itu. Tempat ini akan menghasilkan paspor, kunciku menemui Kiara di Tokyo.
Aku segera memasuki gedung dan menuju loket, menunjukkan antrian yang telah kuambil melalui bot WhatsApp kantor imigrasi. Petugas loket memberikanku beberapa lembar formulir yang mesti kuisi.
Aku menuju salah satu kursi tunggu. Di sana, aku mulai membaca isi formulir dengan hati-hati, aku mesti paham dulu sebelum mengisi atau aku akan salah.
Ok! Selesai!
Aku pun selesai memahami semua yang tertulis disana, segeralah aku mengisinya cepat.
Aku pun kembali ke loket tadi.
“Disini tanda tangan lagi, pak.” Tunjuknya pada sebuah bagian kosong yang berada di lembar belakang.
“Ah ya. Baik.” Kataku dan segera membuat tanda tangan di sana.
“Sebentar ya, pak.” Ucapnya ramah kemudian mulai memeriksa dokumenku.
Beberapa saat kemudian, ia kembali menyodorkan dokumenku yang telah diberikan map tambahan berwarna putih.