Keesokan harinya aku mengantar ibu ke rumah sakit. Sementara Bintang naik angkutan umum menuju sekolah. Hari ini jadwal kerjaku masuk pukul 1 siang. Masih ada waktu untuk bertemu ayah.
Ayah sudah siuman. Ia sudah tak lagi di ruang operasi, ia sudah berada di ruang inap. Aku bersama ibu membawa buah dan beberapa kue.
Ayah belum bisa banyak bergerak, ia hanya bisa terbaring. Ibu membantunya sesekali untuk minum maupun makan.
“Makasih ya, Lang. Sudah bawa ayah kemari.” Ucap ayah saat aku membantu ibu membuka kotak kue.
“Sama-sama, yah. Ayah juga lagian kenapa bisa jatuh?” tanyaku.
“Ayah mendadak pusing kemarin. Lupa makan siang, terus malah narik. Pas juga ada motor ugal-ugalan dari arah lain, jadi deh jatuh.” Jawab ayah sambil terkekeh.
“Lain kali ayah hati-hati.” Kataku yang sudah mengeluarkan potongan kue.
“Iya, Lang. Santai aja. Ayah udah baik-baik aja sekarang.” Kata ayah dengan wajah ceria khasnya.
Aku tersenyum. Kemudian meletakkan kue di piring yang telah ibu persiapkan.
“Ayah udah makan?” tanyaku.
“Udah. Suster tadi kasih ayah makan. Cuma ya, makanan rumah sakit gak seenak masakan ibumu, Lang.” Ucap ayah sambil melirik ke arah ibu yang sedang mengupas apel.
“Mana ada sambal di rumah sakit, yah! Ini kuenya makan dulu. Ibu bikinnya lembut, kok.” Kataku seraya memotong potongan kue dengan sendok lantas menyuapi ayah.
Ayah pun menerimanya. Ia terlihat mengunyah perlahan. Kaki ayah masih diperban, ada luka besar di bagian paha ayah. Pasti untuk beberapa waktu ayah tidak bisa jadi ojek sementara. Ayah butuh waktu untuk sembuh.
“Lang..” panggil ayah dan membuatku menoleh padanya.
“Iya yah?”
“Maaf ya, bikin repot kamu.” Ucapnya dengan tatapan serius, sesaat kemudian ia tersenyum.
“Enggak repot kok, yah. Ayah cepat pulih, dong!” kataku.
“Iya, Lang. Andai aja..”
Deringan ponselku terdengar. Membuat ayah menghentikan ucapannya. Aku pun segera meraih ponselku. Kiara.
“Siapa Lang?” tanya ayah saat aku memandangi layar ponsel milikku.
“Kiara, yah.” Jawabku.
“Angkat sana. Bisa ngambek kalau diabaikan sehari saja.” Ucap ayah yang kemudian tertawa.
Aku pun mengangkatnya seraya melangkah keluar ruangan.
“Halo Ki.” Sapaku saat ponsel sudah menempel di telinga.
“Halo Langit. Ayahmu gimana keadaannya? Udah baikan? Lukanya parah?” tanyanya tanpa jeda.
“Ayah udah siuman, Ki. Kemarin sempat kritis, tapi syukurlah sudah berhasil diselamatkan.” Jawabku seraya duduk di kursi taman.
“Syukurlah. Aku dikasih tau kak Diani tadi pagi, jadi aku telepon kamu. Kamu di rumah sakit sekarang?” tanyanya lagi.
“Iya, ki. Sama ibu.” Jawabku.
“Syukurlah. Lang, kamu gak apa-apa?” tanyanya yang membuatku terdiam. Dadaku kembali berdegup tak menentu. Apakah Kiara tahu kejadian sebenarnya?
“Langit? Kamu masih disana?” tanyanya lagi.
“Ah iya, Ki. Aku baik-baik aja. Cuma semalam baliknya lumayan larut, masih agak ngantuk.” Jawabku yang berusaha menutupi. Aku benar-benar berharap bisa mengalihkan topik pembicaraan ini.
“Kamu istirahat juga, Lang. Jangan memaksakan diri. Hari ini ada kuliah? Atau ngajar?” tanyanya lagi.
“Hari ini kerja aja, Ki. Kuliah dan ngajar enggak ada. Aku bisa langsung istirahat. Kamu disana sehat? Gimana harimu kemarin? Ada masalah atau lainnya?” tanyaku balik.