Maret telah tiba. Tepat hari ini adalah tanggal 1 Maret.
Mentari tak lagi tampak, langit gelap berhiaskan bulan setengah yang terang kini telah nampak. Tak ada awan hitam yang menghalangi, gemintang juga terlihat jelas berseri-seri.
Aku segera tancap gas bersama motorku menuju rumah. Perutku sudah keroncongan dan minta segera diisi.
Hampir satu jam berkendara, akhirnya aku sampai di rumah. Jalanan hari ini padat seperti biasa.
Sesampai di rumah aku bergegas membersihkan diri, kemudian ikut berkumpul bersama ayah, ibu dan Bintang untuk makan malam.
“Lang, malam ini kamu ada tugas atau kerjaan?” tanya ayah saat aku mengambil piring, hendak menyiuk nasi.
“Enggak, yah. Malam ini nggak ada tugas.” Jawabku yang kini sudah duduk setelah mengambil nasi.
“Abis makan malam temenin ayah ya.” Pinta ayah yang kemudian melahap suapan pertamanya.
“Kemana, yah?” tanyaku sambil tanganku mengambil lauk dan sayur.
Ayah tak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke arah ibu yang sedang mengambil lauk.
Ibu menoleh pada ayah, seraya memberikan anggukan. Ada apa?
“Pokoknya ikut ayah aja.” Jawab ayah santai.
Aku mengangguk. “Ok, yah.” Kataku yang kemudian melanjutkan makan malamku.
Makan malam usai. Bintang kembali ke kamarnya setelah membantu ibu membereskan makan malam.
Ayah sudah mengajakku ke ruang tengah, tempat favorit ayah untuk menyesap kopi. Kini kami duduk bersebelahan, sambil sebuah televisi menyala menemani kami.
“Lang, ayah mau bilang terima kasih.” Ucap ayah membuka percakapan diantara kami.
Aku menoleh pada wajah ayah yang menatap layar kaca.
“Buat apa, yah?” tanyaku.
“Langit sudah menolong ayah saat kecelakaan.” Jawab ayah yang terlihat tersenyum.
“Oh itu. Sama-sama, yah. Udah lama juga. Yang penting ayah baik-baik aja sekarang.” Kataku yang kemudian ikut menyesap kopi susu sambil menatap layar kaca.
“Iya ayah udah baik-baik aja sekarang. Tapi..” ayah tak melanjutkan kata-katanya. Sejenak, ia meletakkan gelas kopi kembali ke meja.
“Langit gak baik-baik aja, bukan?” lanjutnya, kini ayah menoleh padaku.
“Maksud ayah? Langit baik-baik aja, kok. Langit sehat. Kan yang dioperasi ayah bukan Langit.” Tanyaku bingung.
Ayah tertawa kecil. “Langit itu mirip ibumu banget ya.” Kata ayah yang kembali menatap layar kaca.
“Langit ‘kan anak ibu, yah. Ibu yang melahirkan Langit. Wajar dong, mirip.”
Tawa ayah pecah. Aku makin kebingungan dengan sikap ayah.