Hari yang ditunggu-tunggu, sekaligus hari yang paling mendebarkan tiba. Hari ini 18 Maret! Tepat hari ini aku akan terbang ke Tokyo!
Aku telah mengambil cuti seminggu untuk bekerja, juga kuliah, aku telah mengambil izin. Termasuk izin kepada kakak beradik Faras dan Faza untuk libur tak mengajar matematika selama dua pertemuan ke depan.
Penerbanganku sudah terjadwal. Pukul 10 malam nanti bersama pesawat aku akan meluncur ke Negeri Sakura, tepatnya bandara Haneda.
Kini aku sudah bersiap dengan segala kelengkapan. Koper sudah rapi, dokumen perjalanan juga telah siap dalam tas selempangku, beserta uang yen yang sudah kutukar dua minggu lalu.
Pukul 3 sore. Aku tengah menunggu Dita dan Arie. Mereka yang akan menemaniku ke bandara. Arie akan menyetir mobil yang ia pinjam dari pamannya. Syukurlah, sampai saat ini aku sangat terbantu.
“Ada yang ketinggalan, Lang?” tanya ibu memastikan.
“Enggak, bu. Langit udah periksa berkali-kali.” Jawabku sambil membenarkan posisi tas selempangku. Memakai jaket lebih tebal membuat tasku lebih mudah jatuh.
“Kak Langit, jangan lupa oleh-oleh, ya!” ucap Bintang dengan wajah berseri.
“Iya. Doakan kakak bisa pulang dengan selamat juga!” kataku riang.
Bintang mengangguk.
“Arie dimana?” tanya ayah. Wajahnya terlihat resah.
“Di jalan, yah.”
“Kamu telat gak? Pesawat jam berapa? Aduh, ‘kan ke Soetta jauh, Lang. Takut macet.” Kali ini wajah ayah benar-benar khawatir.
“Tenang, ayah. Pesawat Langit jam 10. Langit mesti check-in jam 7 malam. Jadi masih banyak waktu.” Kataku berusaha menenangkan ayah.
“Duh, Lang.. kamu yang mau berangkat ayah yang gugup..”
Aku tertawa kecil. Kelakuan ayah justru membuatku lebih rileks. Sebenarnya sejak tujuh hari sebelum keberangkatan aku sudah merasakan gugup luar biasa. Malam-malamku juga terasa panjang. Apalagi aku juga berusaha mati-matian menyembunyikannya dari Kiara setiap kali kami bersua.
“Ayah ada-ada aja, deh.” Ucap ibu sambil menggeleng.
Suara klakson mobil terdengar. Pertanda Arie sudah datang. Aku pun bergegas keluar membawa koper dibantu ayah. Ibu dan Bintang mengikuti.
“Titip Langit, ya. Makasih sudah mau antar.” Ucap ibu ramah pada Arie.
“Sama-sama, bu. Saya juga senang kok. Akhirnya bisa bantu Langit.” Ucap Arie dengan wajah riangnya.
“Kalau begitu Langit berangkat ya, bu. Sampai ketemu minggu depan.” Kataku seraya memeluk ibu.
“Hati-hati, Lang.” Ucap ibu. Matanya terlihat berkaca-kaca.
“Hati-hati! Ingat pesan ayah, ya!” ayah menepuk bahuku.
Aku mengangguk. Kemudian masuk ke mobil bersama Arie. Kami pun meluncur ke bandara.
Hampir dua jam berlalu, akhirnya mobil paman Arie sudah memasuki kawasan Soekarno-Hatta, Tangerang. Beberapa menit kemudian, mobil akhirnya terparkir di lobi. Aku, Arie dan Dita pun keluar bersama koper besarku. Kami berjalan menuju bagian keberangkatan.
“Ini nih, Lang. Ayo!” ajak Arie sambil menarik koperku. Ia berjalan cepat diikuti Dita. Aku pun mempercepat langkahku.
Kami akhirnya sampai di bagian ruang tunggu. Arie dan Dita hanya bisa mengantar sampai sini. Setelahnya aku mesti lakukan sendiri.
“Lang, hati-hati, ya! Aku nunggu kabar baik pokoknya!” ucap Arie yang menepuk bahuku seraya merangkulku.
“Doain, ya Rie.” Kataku seraya menepuk bahu Arie perlahan.
“Terus, kamu udah kabari Kiara?” tanya Dita.
“Astaga! Belum!” jawabku yang menepak dahiku sendiri.
“Yaudah nanti kalau udah sampai di ruang boarding, kamu langsung tuh, videocall dia! Sekali-sekali inisiatif sedikit buat menghubungi. Jangan nunggu Kiara yang hubungi apalagi nanya.” Saran Dita padaku.
“Iya, Dit. Makasih sarannya. Iya sih, aku jarang menghubunginya duluan. Lebih sering Kiara.” Kataku yang kemudian merasa bersalah.
“Udahlah. Yang lalu biarkan aja. Mulai sekarang Langit melangkah maju, dong. Kamu tunjukkan perasaanmu sebenarnya ke dia. Kamu tunjukkan kalau hanya kamu yang pantas menjadi teman sehidup-sematinya!” ucap Arie dengan semangat.
“Makasih ya, kalian!” kataku yang kembali berkaca-kaca.
“Udah sana masuk! Antri lama, loh!” ucap Dita seraya menarik lengan Arie agar lepas dariku.
Aku mengangguk seraya meraih koperku. Lalu mulai mengayunkan kaki. Arie dan Dita melambaikan tangan padaku. Aku pun membalas lambaian tangan mereka.
Belum genap langkahku menuju petugas pemeriksaan, seseorang memanggilku.