"Langit?" Panggilnya dan membuatku menggeleng cepat.
"Kamu perlu apa Ki?" Tanyaku cepat.
Kiara tertawa. Aku pun bingung.
"Kiara mau pulang Lang. Biar Langit istirahat." Katanya seraya menurunkan kaki dari kasurku.
"Jangan, Ki. Disini aja." Pintaku. Kiara menatapku. Lalu ia menoleh ke arah lain. Ternyata tanganku sedang memegang tangan Kiara, menahan langkahnya untuk pergi.
"Kamu masih suka aku 'kan Ki?" Tanyaku padanya dalam hati. Bodoh bila aku bertanya hal ini. Disaat seperti ini pula.
Kiara mengalihkan pandangannya, "Ternyata memang perasaan ini masih terus ada. Juga, gak mungkin berubah jadi benci." Ucapnya tanpa menoleh padaku.
"Kiara.." kataku yang sungguh terkejut akan kalimatnya. Dia menyatakan perasaannya untuk kedua kali.
"Tapi biarkan Kiara sembuhkan hati, Lang. Untuk benar-benar melupakan." Ucapnya.
Bak ada sambaran petir ke seluruh tubuhku. Sakit. Seketika, dadaku kembali terasa sesak.
"Hujannya sudah reda, Kiara mesti pulang Lang. Mau pamit ke ibumu." pintanya yang melepas genggamanku lantas berdiri.
Dadaku kian terasa sesak, sesak yang kemudian tak lagi tertahankan. Tubuhku pun akhirnya mencari obat peredanya. Ia bergerak dibawah kendali setengah sadarku.
Aku menarik tubuh Kiara ke dalam dekapanku.
Hening. Tak ada ucapan apapun, kedua tanganku tak mau melepasnya. Seolah akan ada rasa sakit yang tak tertahan bila aku melepasnya.
Sesuatu terjadi diantara keheningan. Kiara membalas pelukanku. Lengannya juga mendekapku. Aku bisa merasakan jemari Kiara di punggungku.
"Aku suka kamu, Kiara." Kataku.
Kiara kembali terisak. Ia mempererat pelukannya.
"Kiara pasti lagi mimpi." Ucapnya dan membuatku melepaskan pelukanku.
Wajah Kiara merona. Ia tak bisa menyembunyikan merah pipinya sekarang. Melihatnya seperti ini membuat dadaku kian berdegup tak beraturan.
Perlahan, jemariku bergerak mendekati wajahnya. Lantas, menghapus dengan lembut air mata yang mengalir di pipinya.
"Kiara gak lagi mimpi." Kataku yang kini mengangkat dagu Kiara perlahan. Tatapan kami kembali bertemu.
"Aku baru sadar. Aku yang justru memperhatikanmu. Tapi dulu aku belum mengerti perasaanku. Sekarang, aku mau mencoba memahami. Itu pun kalau enggak terlambat." Kataku seraya menunduk, berusaha mengalihkan pandanganku dari teduhnya sepasang mata milik Kiara.