Aku sudah terbangun sejak tadi. Sejak seorang pramugari menawarkanku sarapan. Kini aku memandang ke luar jendela. Langit cerah menyapa. Aku masih terbang di atas awan-awan yang terlihat hanya sedikit gumpalannya. Kalau menurut waktu mestinya aku sebentar lagi aku akan mendarat.
Perutku juga sudah terisi. Kini aku merasa lebih bersemangat.
Dadaku kembali berdegup kencang. Diriku masih berusaha menerima kenyataan yang bak mimpi bagiku. Seorang Langit sampai di Jepang! Hello Japan!
Rasanya ingin aku menjerit kali ini juga. Namun itu tidak mungkin, akan menggangu seluruh penumpang pesawat disini.
Peringatan untuk memakai seat belt kembali terdengar, pesawat akan segera mendarat. Kedua jemariku saling bertautan sekarang, aku sungguh gugup bercampur senang. Aku akan bertemu Kiara! Dan lagi, bertemu Kiara di Negeri Sakura!
Pesawat tak lagi mengudara, kini ia sudah mendarat menuju salah satu garbarata. Himbauan untuk tetap berada di tempat duduk sampai pesawat benar-benar terparkir pun kembali disuarakan. Bahkan kini ada kalimat menggunakan bahasa Jepang.
“Nihon e youkosou![1]” suara seorang pramugari terdengar di pengeras suara.
Aku benar-benar telah sampai di Tokyo.
Pintu pesawat telah terbuka, sesaat garbarata telah terhubung. Kini, waktunya aku dan seluruh penumpang turun.
Setelah mengambil tas di kabin atas, aku pun berjalan menuju pintu keluar. Disana, beberapa pramugari dan pramugara berjajar dengan memasang wajah ramah.
“Terima kasih. Arigatou gozaimasu[2]!” ucap mereka ramah dan kubalas dengan anggukan. Aku pun melangkah memasuki garbarata.
Sejenak, aku menghela nafas. Udara Jepang sudah mengisi seluruh paru-paru. Hawa dingin terasa walau cuaca terlihat sangat cerah hari ini. Negeri ini baru saja akan memulai musim seminya.
Aku pun begerak cepat, selanjutnya adalah menuju imigrasi. Seperti halnya Faras dan Faza, aku bisa melewati bagian imigrasi dengan lancar. Cuus! Langsung mengambil koperku.
Barisan eskalator koper terlihat, disana aku juga melihat banyak orang menanti kopernya. Aku pun bergegas melangkah. Aku juga sudah melihat koper berwarna biru langit disana. Dengan cekatan, aku pun meraihnya.
Percakapan seperti di dorama dan anime kesukaanku mulai berdengung di telinga. Bolak-balik aku melirik sekelilingku, banyak orang berwajah putih dan mata sipit khas orang Asia Timur. Aku tidaklah bisa bahasa Jepang seperti Kiara, hanya sekedar beberapa kalimat sederhana saja, jadi rasanya aku hanya seperti mendengar dengungan lebah. Tidak mengerti.
Koper telah kuambil, kini aku berjalan sambil meraih ponsel di sakuku. Menyalakannya untuk menghubungkan ke WiFi bandara. Aku yakin Kiara sudah menuju kemari. Aku hendak menghubunginya.
Terhubung! Aku segera menekan tombol panggilan pada Kiara.
Panggilan berdering, tetapi Kiara tak mengangkatnya. Sambil menunggu Kiara aku terus melangkah, hingga tak terasa aku sudah keluar dari pintu keluar.
Aku menoleh kesana kemari. Tidak ada sosok Kiara. Panggilan pun tidak dijawab olehnya. Mungkin ia datang terlambat?
Sambil menunggu Kiara menjawab panggilanku, aku mengamati sekeliling. Banyak papan tulisan dengan huruf kanji, hiragana maupun katakana, yang tentunya aku tak dapat membacanya.
Aku juga memperhatikan tiang-tiang tinggi yang saling menyilang menyangga atap bandara. Ini sungguh luar biasa, lebih keren dari bandara di Soekarno-Hatta. Hampir semua orang terlihat dengan pakaian rapi menarik koper, semua terlihat begitu sibuk. Lalu, kuputuskan duduk di kursi tunggu.
Beberapa saat aku memperhatikan ponselku, Kiara tak kunjung menjawab. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah Kiara akan menjemputku?
Masih tenggelam dalam pertanyaan dalam pikiranku, tiba-tiba sepasang tangan menutup mataku dari belakangku. Sebuah tangan hangat yang kukenali.
“Ki..” panggilku sambil menyentuh kedua tangan itu.
Kedua tangan itu lepas dari mataku. “Ah gak seru, Langit! Udah tahu duluan!” ucapnya yang langsung berpindah posisi ke hadapanku.
Aku mengamatinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Hari ini dia mengenakan pakaian terusan merah muda hingga lututnya. Sebuah sepatu kets putih ia kenakan, rambutnya yang terkuncir kuda membuatnya kian bertambah manis.
“Langit?” panggilnya sambil memiringkan kepala.
Astaga! Kenapa aku justru melamun. Kiara sudah di hadapanku sekarang. Aku dan dia sudah kembali bertemu.
Tanpa perlu meminta izin padanya, aku langsung mendekapnya erat. Rasa hangat mengisi seisi relung dada. Harum rambut Kiara pun juga ikut terasa. Aku sungguh merindukan sosok gadisku ini.
“Langit mulai agresif, ya. Mentang-mentang udah di Jepang.” Ucapnya saat masih dalam pelukan. Aku pun melepasnya cepat.