Hari pertamaku di Jepang sudah terlewati dengan menyenangkan. Tidurku pun nyenyak setelah sebelumnya mengabari ibu dan ayah bahwa aku telah sampai dengan selamat. Arie dan Dita juga senang saat kuberi tahu sambil mengirimkan swafoto bersama Kiara.
Hari pun berganti. 20 Maret pun tiba! Hari ini adalah wisuda Kiara. Kiara memberitahukanku bahwa aku akan ikut memasuki ruang wisuda sebagai perwakilan keluarga. Tepat pukul 8 aku sudah bersiap dengan kemeja putih yang berpadu dengan jas coklat dan dasi. Sepatu dan celana juga telah dengan warna senada. Aku siap menuju wisuda Kiara.
Aku juga sudah membawa hadiahku juga titipan dari Mas Wira.
“Ohayou gozaimasu![1]” sapa seseorang dan membuatku menoleh cepat.
Seorang gadis cantik mengenakan kimono bernuansa biru cerah menghampiriku. Kiara. Rambutnya juga telah ditatanya dengan rapi. Sungguh, dia cantik hari ini.
“Ohayou.” Sapaku balik saat ia sudah tepat berdiri di hadapanku.
“Ima ikouka?[2]”tanyanya dan aku hanya membalas dengan anggukan.
Kami pun melangkah, menuju kampus Kiara yang cukup berjalan kaki sekitar sepuluh menit.
Memasuki ruang wisuda membuatku gugup. Banyak orang menyapa Kiara. Sedangkan Kiara mengenalkanku pada mereka, saat berkenalan itulah yang membuatku gugup, terlebih pada mereka yang orang asing.
Acara dimulai dengan khidmat. Suara riuh tadi sudah berganti dengan keheningan. Aku menatap ke podium depan, dimana seorang kepala fakultas sedang berpidato disana. Saat ini juga, rasa sesak kembali datang mengisi relung dada. Bukan karena sakit maupun kecewa, tetapi ini karena bahagia yang sungguh luar biasa. Aku bisa menginjakkan kaki di Tokyo. Aku bisa mengejar Kiara ke Negeri Matahari Terbit ini.
Sejenak aku mengingat kembali kejadian-kejadian lalu, mulai dari pembuatan paspor hingga saat ayah mengalami kecelakaan. Saat itu, aku benar-benar ingin menghapus semua keinginanku untuk menemui Kiara disini. Saat itu, bagiku keinginanku pergi kemari adalah sebuah keegoisanku. Aku takut, takut kalau ayah tak tertolong. Aku takut kalau uangku tak cukup. Dilema berat melandaku saat itu. Lalu, semesta memberikan jalan. Melalui Arie dan Dita aku bisa terus melaksanakan langkah demi langkah rencanaku. Tak lupa ibu dan ayah yang senantiasa mendukungku. Aku sungguh merasa bersyukur sekarang.
Suara riuh tepuk tangan terdengar. Nama Kiara disebutkan. Pandanganku kembali fokus ke depan. Kiara maju memberikan pidato sebagai mahasiswa lulusan terbaik tahun ini.
Melihatnya bicara dalam bahasa Inggris yang fasih sungguh mengagumkan. Ia bersinar, kian bersinar karena senyuman manis senantiasa menghiasi parasnya yang elok. Terkadang, aku bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana aku menjalin kasih dengan orang sekeren Kiara? Bagaimana bisa seorang Kiara jatuh hati padaku yang sangat biasa saja ini?
Aku menggeleng. Aku tak semestinya tak bertanya itu lagi. Kiara hanya menyimpan namaku di lubuk hatinya, maka tak ada alasan bagiku tak memberikan hal terbaik untuknya. Kiara, satu-satunya gadis yang ingin kupinang kelak.
Pidato selesai. Suara tepuk tangan kembali terdengar. Kiara kembali menuju posisinya. Tak lama, rangkaian wisuda pun selesai.
Aku bergegas turun dari kursi bagian atas menuju bagian bawah, tempat Kiara berada.
“Selamat, Ki!” kataku saat sampai di hadapan Kiara, seraya menyodorkan sebuah bingkisan pada Kiara.
“Makasih, Lang! Ini dari kamu?” tanyanya.
“Itu bingkisan dari Mas Wira, maaf katanya gak bisa hadir. Oya, hadiahku juga sekalian aku masukkan kesana.” Jawabku.
Kiara melihat ke dalam isi bingkisan. “Makasih, ya!” ucapnya saat menghadapku.
“Sama-sama!” kataku.
“Kiara-chan!” teriak seseorang dengan nada melengking.
Aku dan Kiara pun menoleh. Seorang gadis berpakaian kuning cerah membawa sebuah tas tangan datang menghampiri kami dengan langkah cepat.
“Ko-chan!” ucap Kiara riang seraya menghampiri sang gadis. Mereka pun berpelukan.
“Sotsugyou omedetou![3]” ucapnya saat melepaskan pelukan dari Kiara.
Kiara mengangguk. “Arigatou!” balas Kiara riang.
Sesaat kemudian, gadis yang dipanggil Ko-chan ini melirik ke arahku.