Kiara sudah berganti pakaian menjadi setelan kemeja kasual berwarna merah muda dengan rambut dikuncir kuda. Ia juga mengenakan outer tipis berwarna putih membuat dirinya kian menawan sekarang. Aku pun demikian. Aku telah berganti pakaian menjadi kaos berpadukan dengan jeans dan jaket tipis.
Pukul 1 siang, aku dan Kiara bertemu di lobi penginapan. Kami pun segera meluncur, destinasi pertama adalah tempat makan. Aku dan Kiara sudah sama-sama lapar.
Kali ini kami hanya mampir ke sebuah minimarket kemudian makan disana, Kiara menyarankan makan di restorannya malam nanti saja. Aku pun menurutinya.
Makan usai, kami langsung menuju halte. Destinasi pertama kami adalah Asakusa.
Tokyo memang benar-benar kota yang ramai dan padat akan orang-orang berlalu lalang. Kalau Kiara tidak memegang tanganku terutama saat menuju bus yang datang, aku pasti kebingungan. Terlalu banyak orang yang menggunakan bus dan kereta. Sedangkan jalan raya tidaklah sepadat itu, tidak banyak mobil dan motor seperti di kota asalku. Macet akibat padatnya kendaraan bermotor tak pernah kutemui disini. Justru aku merasakan macet saat berjalan kaki. Terlalu banyak orang yang berlalu-lalang.
“Langit?” panggil Kiara padaku saat kami baru memasuki bus. Kebetulan bus cukup padat sehingga aku dan Kiara mesti berdiri.
“Iya?” sahutku padanya.
“Dari tadi kamu melamun. Kenapa?” tanya Kiara.
“Aku engga melamun, Ki.” Jawabku.
“Langit dari tadi kayak orang bingung. Kasih uang ke bus tadi aja hampir lupa. Emang gak kerasa, Lang? Kamu lagi mikirin apa?” tanya Kiara lagi yang bertepatan dengan mulai bergeraknya kereta.
“Aku cuma kagum bercampur heran, Ki. Disini beneran beda sama di Indonesia, terutama Bogor. Jalanan padat di bagian trotoar, bukan bagian jalan rayanya. Orang-orang juga berjalan cepat kayak di dorama.” Jawabku yang kembali menatap jalanan luar.
Kiara tertawa. “Astaga ternyata daritadi kamu mikirin itu.”
Aku juga turut tertawa. “Maklum ya, Ki. Aku baru pertama kali kesini. Baru pertama kali keluar negeri pula.” Kataku sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
Kiara tersenyum menatapku dari samping. “Gak apa-apa, Lang. Pengalaman ‘kan jadinya? Makasih banget Langit sudah datang. Pasti kamu banyak melalui kesulitan ya? Maaf Kiara enggak peka.” Ucapnya dengan dahi berkerut.
Aku menoleh padanya. “Bukan kamu yang gak peka, Ki. Tapi emang aku yang sengaja merahasiakan. Ya, akhirnya ketahuan juga.” Kataku yang kemudian melihat pemandangan luar.
“Kemudian, sampai juga disini.” Ucapnya yang ikut memandang pemandangan luar.
Aku tersenyum. Dalam dada terasa seperti ada sesuatu yang meletup-letup. Di saat yang bersamaan juga, jemari kami bertautan. Sepertinya Kiara juga merasakan hal yang sama.
Beberapa saat kemudian kami pun sampai ke halte tujuan. Butuh berjalan sekitar sepuluh menit untuk sampai Asakusa. Itulah destinasi pertama kami. Aku pernah lihat film Asakusa di serial drama Love in Tokyo yang dibintangi oleh Furukawa Yuki dan Honoka Miki maupun di beberapa drama atau anime lainnya. Melihatnya langsung seperti ini jauh lebih luar biasa ketimbang menontonnya dalam film.
“Lang, ayo foto!” ajak Kiara saat kami sampai di pintu gerbang kuil dengan sebuah lampion merah besar bertuliskan huruf kanji.
“Ayo!” kataku seraya merangkulnya lantas menatap ke ponsel Kiara.
Kami terus menyusuri jalanan menuju kuil utama. Keren. Ini seperti pasar tumpah di Bogor dengan versi lebih rapi. Banyak hal yang dijual dan jajakan, mulai dari gantungan kunci, pakaian tradisonal jepang, kaos, aksesoris, hingga hiasan dinding.
Kiara mengajakku ke kuil. Disana, kami berfoto juga yang kemudian berkeliling mengunjungi toko-toko souvenir. Aku membeli beberapa gantungan kunci dan hiasan dinding untuk diberikan pada Dita, Arie dan adikku.
Usai merasa puas berkeliling di Asakusa, Kiara kembali mengajakku. Kali ini destinasi baru. Tokyo Sky Tree!
“Bukannya ada Tokyo Tower ya, Ki?” tanyaku.