Kami sudah keluar dari Tokyo Sky Tree. Kami pun berjalan menyusuri jembatan besar. Dari sini nampak jelas lampu-lampu yang mulai menyala. Mentari sudah condong ke Barat, warna jingga kemerahan menghiasi cakrawala.
“Aku bakal kangen Jepang. Bakal kangen suasana ini.” kataku saat kami berjalan.
“Aku juga.” Kata Kiara yang terus berjalan bersama jemari yang saling bertautan.
Hampir lima belas menit berjalan, kami pun sampai di restoran. Kata Kiara ini restoran okonomiyaki. Nama makanan itu sudah tak asing bagiku, aku pun pernah memakannya saat di Indonesia dulu, tetapi sepertinya rasanya takkan sama dengan yang dulu aku rasakan di Indonesia.
Kami pun duduk di sebuah bagian restoran yang bersekat satu dengan lainnya, seperti menjadi ruang masing-masing bagi tiap pengunjungnya. Kali ini kami duduk di tatami dan saling berhadapan. Tak lama setelah duduk, makanan tak langsung datang sebagai hidangan. Kami mesti memasaknya terlebih dahulu. Dengan cekatan, Kiara menuangkan adonan okonomiyaki ke wajan dihadapan kami.
“Okonomiyaki disini terkenal enak, Lang. Kiara belum pernah makan, sih.” Katanya disela-sela kegiatan memasaknya.
Peluh pun menetes dari pelipisnya. Sepertinya semangatnya membara, atau Kiara benar-benar lapar sekarang.
“Biar aku bantu, Ki.” Pintaku dan membuatnya menoleh cepat.
“Langit mau coba masak?” tanyanya dan kujawab dengan sebuah anggukan.
Kedua spatula diberikan kepadaku. Aku pun mulai melakukan seperti yang Kiara lakukan sebelumnya. Sungguh ini menyenangkan, aroma okonomiyaki yang digoreng langsung terasa oleh hidungku. Aku menjadi kian tak sabar untuk mencobanya.
Beberapa saat kemudian, okonomiyaki pun siap. Kiara pun menuangkan saus diatasnya beserta ketsuboushi.
“Itadakimasu!” ucap kami bersamaan sambil mencakupkan kedua tangan yang kemudian langsung melahap okonomiyaki panas yang tersaji.
“Enak ya, Lang!” ucap Kiara dalam keadaan mulut penuh.
Aku mengangguk. “Enak!” kataku setelah menelan suapan pertama.
“Kalau masih kurang kita pesan lagi saja! Kali ini Kiara traktir ya.” Katanya dengan nada riang seraya melahap suapan selanjutnya.
Aku menoleh padanya cepat. “Eh, aku masih ada uang kok, Ki.” Kataku dan lagi kini ia kembali menggeleng tegas.
“Kiara yang abis wisuda, Kiara yang traktir!” ucapnya tegas. Kali ini wajah Kiara benar-benar meminta dituruti. Kalau tidak, mungkin ia akan bersedih.
“Iya iya, Ki. Kamu traktir aku. Makasih banyak ya.” Kataku dan wajah Kiara berubah menjadi ceria kembali. Kami pun melanjutkan makan hingga semua okonomiyaki tandas.
“Lang..” panggil Kiara saat aku meneguk ocha hangat.
Sebelah tangan Kiara meraih sesuatu dari dalam tasnya.
“Apa Ki?” tanyaku seraya meletakkan gelas kembali di meja.
“Ini. Terima, ya.” Ucapnya seraya menyodorkan sebuah amplop coklat padaku.
“Eh ini apa, Ki?” tanyaku bingung.
“Langit melewati banyak kesulitan kemari. Terutama keuangan. Kamu hampir saja tidak berangkat karena membiayai ayahmu, ‘kan? Biarkan Kiara mengg..”
“Nggak, Ki!” ucapku tegas seraya mendorong amplop yang Kiara sodorkan.
“Aku gak bisa nerima itu, Ki. Aku pergi kemari karena memang keputusanku. Ayah kecelakaan itu sudah menjadi tanggung jawabku. Kamu gak perlu beri aku uang, Ki.” Kataku yang kemudian menunduk.
“Itu uangmu, Ki. Kamu bisa pakai buat hal lainnya. Aku bisa nabung lagi, tenanglah.”
“Lang..” panggilnya.
“Kamu tahu soal ini dari siapa, Ki? Arie menghubungimu, ya? Atau kak Diani?” tanyaku seraya kembali mengadahkan pandanganku.
Kiara menggeleng. “Kak Diani ngabarin kamu ke Jepang saat hari keberangkatanmu. Arie bahkan sama sekali gak kirim aku kabar.” Jawabnya.
“Lalu siapa?” tanyaku cepat.