Tidak pernah kurasakan bernapas akan sesulit ini. Aku memberanikan diri untuk menaiki tangga kayu yang hampir lapuk.
Suaranya berderit saat kuinjakkan kakiku di sana. Suaranya melengking cukup keras memenuhi ruangan.
“Senja! Tetap di tempatmu!”
Kudengar Ayah berteriak dari ujung ruangan. Sepertinya beliau menyadari bahwa aku berusaha keluar dari tempat gelap itu.
Perlahan aku menoleh padanya. Tubuhnya tidak bergerak. Kakinya tetap bersimpuh di ujung lorong yang dipenuhi rak barang. Kurasakan tatapan lelaki paruh baya itu menusukku tajam.
Tatapan itu berhasil mengurungkan niatku. Aku tidak tahan menatap kedua bola matanya yang hampir keluar. Seketika itu juga, entah itu ketakutan atau kecemasan menggerogoti pikiranku.
Semua itu mempengaruhi keputusanku untuk beranjak. Perlahan, aku kembali ke tempatku dengan perasaan gontai.
Ini sungguh menyesakkan. Sudah hampir satu minggu aku dan keluargaku terkurung dalam ruangan sempit ini.
Sebenarnya, aku tidak begitu yakin akan hal itu. Satu atau mungkin dua minggu. Atau bahkan lebih.
Aku bahkan tidak mampu lagi membedakan siang dan malam. Terlalu sulit membedakannya ketika aku merasa terpenjara dalam ruangan sempit nan gelap ini.
Tidak ada jendela besar seperti yang ada di kamarku. Bahkan ventilasi yang sering kulihat di dinding kamar mandipun tidak kutemukan.
Tidak hanya itu, ruangan ini juga minim penerangan. Lampu dopp 5watt yang menyoroti ruangan ini tidaklah cukup.
Ruangan ini tidak lebih luas dari ruang makan keluargaku. Namun dipenuhi dengan kardus-kardus besar. Semuanya merupakan stok barang dari toko kami.
Pantas saja itu terasa sesak bagiku. Apalagi dengan empat orang dewasa di dalamnya. Namun, Ayah beranggapan ruangan ini merupakan tempat teraman saat ini.
Kami semua setuju padanya tanpa perdebatan apapun. Di luar sana, keadaan sangat tidak dapat diprediksi. Kau mungkin bisa mati kapanpun. Begitu pesan Ayah sebelum memasukkan kami ke ruangan ini.
Jauh di dalam hatiku, aku tidak menyukainya. Tapi tidak ada yang dapat kulakukan. Tempat ini jauh dari kata layak sebagai tempat tinggal.
Tempat tinggal? Ini adalah tempat pengungsian kami. Oh, bukan! Bukan pengungsian. Lebih tepatnya adalah tempat persembunyian.
Betul sekali. Kami bersembunyi di gudang bawah tanah. Tempat keluarga kami menyimpan stok barang untuk toko kami. Berhari-hari kami lalui di tempat ini dalam diam.
Lapar dan dahaga bukan masalah yang penting lagi bagi kami. Keadaan di luar lebih mengerikan dari semua perasaan itu. Itulah mengapa melawan Ayah saat ini hanya memperburuk keadaan.
Beberapa hari telah berlalu sejak kehebohan itu. Berita yang kudengar dari radio masih sama. Pemberontakan, penjarahan, pembunuhan, hingga pemerkosaan.
Bulu kudukku selalu merinding setiap kali mendengarnya. Aku tidak habis pikir. Bagaimana mungkin negeri yang begitu tenang menjadi seporak poranda ini?
Dalam satu malam semuanya berubah. Kehidupan yang dulunya tenang dan damai sepertinya akan sulit kembali.
Aku dapat merasakan bahwa kota ini perlahan menjadi kota mati. Mati dari peradaban dan kemanusiaan. Oh…itu terdengar sangat mengerikan!
“Bukankah seseorang harus melakukan sesuatu?”
Semua mata tertuju padaku. Ayah menatapku lebih dalam tetapi tidak beranjak dari tempatnya.
Jonathan, saudara kembarku, hanya menggelengkan kepalanya. Sementara itu aku dapat menangkap kecemasan yang tergambar jelas di wajah ibu. Pandangannya tertuju pada Ayah sebelum menatapku.