Terkurung dalam ruang bawah tanah tidak selalu menyeramkan. Aku menyadari beberapa hal setelah berada di tempat itu.
Kekuatan sang Ayah sangatlah mutlak. Tentu saja itu dilakukan demi melindungi keluarganya.
Seberapa keraspun aku memikirkannya, jawabannya tetap sama. Ayah berupaya mengubur kecemasan dan ketakutan kami. Jauh di dalam ruang bawah tanah itu.
Sama halnya dengan ruang bawah tanah yang tersembunyi. Aku seolah memahami bahwa Ayah ingin kami menyembunyikan perasaan kami.
Perasaan kesedihan, kekalahan, dan kekecewaan. Apapun itu!
Ayah ingin kami berhenti menangisi yang telah terjadi. Simpan semua perasaan kita di sini. Begitu yang dia sampaikan saat itu.
Sayangnya, Ayah tidak menyadari sesuatu yang penting. Perasaan yang kami kubur itu menumbuhkan bibit dendam.
Tidak hanya pada rezim yang berjalan, tetapi juga seluruh kekuasaannya. Terlebih lagi, ketika menghadapi manusia yang berbeda dengan kami.
Mataku berbinar di tengah kelelahan yang aku rasakan. Aku bergegas beranjak dari tempatku.
Pelan tapi pasti, aku berjalan meraih anak tangga. Hanya sesaat setelah Ayah mengijinkan kami keluar dari ruang bawah tanah.
Aku membuka pintu dengan penuh semangat. Sungguh tidak sabar rasanya menghirup kembali oksigen segar dari luar ruang bawah tanah.
“Aargh!!! Haah … haah … Aku tidak dapat membukanya.”
“Dasar lemah! Minggir!”
Aku menggerutu mendengar Jonathan yang tersenyum mengejekku. Aku paham jika dia memintaku turun. Namun aku menolakknya.
“Aku bisa melakukannya! Kau tidak perlu naik kesini!”
Tidak kusangka pintu berbahan kayu tua itu terasa seberat puluhan ton bagiku. Sekuat tenaga aku mendorongnya.
Butuh waktu beberapa saat hingga aku mendengar suara benda-benda keras bergeser.
“Shraakkkk ….”
Butiran pasir meluncur dengan cepat mengalir di atas ubun-ubunku. Seluruh kepalaku dipenuhi pasir kasar. Disusul kemudian dengan reruntuhan yang terasa asing bagiku.
“Aaarrrghh!!!”
Aku memejamkan mataku sembari menjerit kencang. Segera aku bergeser dari tempatku.
Saat membuka mata, kulihat Jonathan beserta Ayah dan Ibu membeku melihat jatuhnya reruntuhan itu.
“Senja! Kau tidak apa-apa?”
“Hum … aku baik-baik saja, Ayah. Tapi … bleeh … bwahh! Pasir-pasir ini juga masuk ke mulutku. Urgh! Menyebalkan!”
Sesaat kucoba mengibaskan tanganku ke seluruh tubuhku. Pasir-pasir itu tidak mudah rontok. Mereka justru menempel erat di kulitku.
Perlahan kuangkat tubuhku untuk keluar dari pintu ruang bawah tanah. Aku tersenyum saat kepalaku berhasil keluar.
Anehnya, tubuhku membeku saat mendapati pemandangan di sekitarku.
“Oh … Tuhan … Apakah seeseorang menjatuhkan nuklir?”
Mulutku bergetar menyaksikan apa yang kulihat. Air mataku tertahan saat kurasakan Jonathan telah berdiri di sampingku. Begitu pula Ayah dan Ibu.
Tidak ada lagi ruang keluarga kami. Ruangan yang seharusnya menjadi pintu keluar ruang bawah tanah kami telah lenyap.
Tidak ada lagi jendela dengan kaca yang besar. Tidak ada lagi meja dapur, meja makan, apalagi kulkas.
Bahkan kutemukan jejak kamarku tidak berbekas sama sekali. Semuanya luluh lantak.
Sejauh mata memandang, hanya ada reruntuhan. Tidak ada lagi pertokoan yang berdiri kokoh sebelumnya.
Tidak ada lagi rumah-rumah yang berdempetan satu sama lain. Pohon-pohon berdaun hijau pun berubah menjadi sehitam batu arang.
Parahnya, aspal jalanan juga ikut terkubur oleh reruntuhan dengan sempurna.
“Oh … tidaaak … Astagaa … Bagaimana ini bisa terjadi?”