Tidak pernah kusaksikan secara langsung sosok Trops negeri ini. Membayangkan untuk bertemu langsung saja tidak pernah terlintas dalam benakku.
Trops di negeri ini dikenal sebagai satuan pengaman Negara yang sangat tangguh. Tidak hanya itu, mereka juga dikenal dengan kekejamannya.
Mata kami berpandangan satu sama lain. Tidak kusangka menghadapi mereka tampak lebih aneh dari pada para penjarah kala itu.
Terlebih saat senjata laras panjangnya mendekati kepalaku. Terasa sangat dingin begitu ujungnya menempel di keningku.
“Berlutut! Cepat!”
Salah satu dari mereka berteriak dengan sangat lantang. Lututku gemetar mendengarnya. Aku melirik Ayah perlahan. Namun, beliau tidak bergeming.
“Kalian tidak dengar, huh?! Berlutut! Cepat!”
Salah seorang Trops mengulangi instruksi dari Trops yang pertama. Aku yakin yang pertama adalah komandannya. Penampilannya berbeda dengan yang lainnya.
Perlahan, aku dan Jonathan mengikuti Ayah dan Ibu yang mulai menurunkan lututnya. Tanah tandus berpasir ini membuat kulitku serasa terbakar.
Anehnya, bukan ketakutan yang aku rasakan. Hanya kebingungan yang muncul dalam benakku.
“Bukankah kami hanya warga sipil?”
Ucapan itu keluar dari mulutku dengan santai. Komandan itu mendekat padaku. Sorot matanya terlihat penuh amarah.
Aku tidak dapat membaca ekspresinya. Seluruh wajahnya tertutup kain hitam. Hanya sorot matanya yang dapat kulihat.
Salah satu Trops menyusul di belakangnya. Dia pun bergegas menodongkan senjatanya padaku dengan cepat.
Kali ini, ujung laras panjang yang menempel di keningku membuatku tercekat. Kurasakan peluh yang mengalir menguasai keningku.
Kawanan Trops itu menggeledah kami satu per satu. Tentu saja mereka tidak menemukan apapun. Kami tidak membawa apapun saat meninggalkan kota.
Komandan mereka mengambil intercom yang menempel di bahunya. Sepertinya menghubungi seseorang yang lebih tinggi pangkatnya.
“Semuanya aman, pak.”
“Ok! Bawa mereka masuk.”
“Baik. Dimengerti!”
Mereka segera menatap kami. Satu per satu dari mereka mendorong tubuh kami melalui laras panjangnya.
“Bangun! Cepat Jalan!”
Astaga! Gestur mereka terhadap kami sangat kasar. Apakah tidak ada cara yang lebih sopan?
Mereka memaksa kami untuk berdiri dan berjalan. Tanpa perlawanan, kami mengikuti mereka. Sepertinya kami menuju sebuah Camp yang terlihat dari pandanganku.
Camp itu di kelilingi oleh kawat berduri. Kulihat di setiap sudut berjejer Trops yang berjaga. Jaraknya mungkin sekitar lima belas atau dua puluh langkah dari tempatku di tangkap sebelumnya.
Sejauh mata memandang, hanya ada tenda hijau yang dibangun berhimpitan satu sama lain. Tempat itu tampak tidak begitu luas.
Aku bahkan hampir melihat semuanya dari kejauhan. Mungkin hanya seukuran lapangan sepak bola di dekat lingkungan kami.
Penjagaan di pintu Camp lebih ketat dari yang kuduga. Puluhan Trops berjejer rapi dan berdiri dengan tegak. Mereka memberi hormat pada komandan yang lewat bersama kami.
Kuperhatikan sekitar saat mengikuti para Trops yang membawa kami. Kanan dan kiri, semuanya terlihat sama. Hanya ada sekumpulan pengungsi yang dijaga ketat oleh para Trops.
Sekilas, hanya pribumi yang terlihat dalam pandanganku. Tidak terlihat satupun seseorang yang mirip dengan keluarga kami.
Apakah mereka berada di tempat terpisah? Mengapa pula mereka memisahkan kami? Bukankah itu terdengar seperti diskriminasi?
Para Trops di depan kami berhenti di salah satu tenda. Itu tidak terlalu jauh dari pintu masuk Camp.
Beberapa kumpulan Trops di dalam berbadan lebih besar dari Trops yang membawaku dan keluargaku. Mereka tampak lebih mengerikan jika dilihat dari dekat.
Hanya komandan yang berukuran tubuh hampir sama dengan mereka. Kulihat dia masuk ke dalam tenda.