Langit Fajar Ujung Senja

Susanti
Chapter #5

Bagian 5

“Sudah cukup!!!”

Tubuhku lemas seketika saat kudengar seseorang bersuara lebih kencang dariku. Dia muncul dari dalam tenda dan mendekati kami.

Tubuhnya lebih besar dari lelaki di hadapanku. Hal itu membuat lelaki di hadapanku tampak kesal.

Meskipun demikian, dia menuruti ucapan lelaki berambut ikal itu. Tato berbentuk bintang yang melingkar di tangannya terlihat familiar bagiku.

“Tony ingin kita membawa mereka padanya.”

“Argh! Aku belum bersenang-senang dengan gadis kecil ini.”

“Hentikan! Jika kau tidak ingin mati!”

“Urgh!”

Seluruh tubuhku lemas. Beberapa Trops segera memapahku beserta keluargaku. Kami mengikuti mereka dengan lunglai.

Lelaki berambut ikal dengan tato bintang itu berjalan paling depan. Dia memimpin perjalanan kami dengan tatapan dingin.

Dunia tidak pernah terasa seasing ini bagiku. Sorot mata dingin di sekitar Camp yang kulewati terasa menusuk hingga relung hatiku.

Camp ini cukup sederhana. Sejauh mata memandang, rentetan tenda hijau gelap berjejer rapi.

Tembikar yang dibentangkan tertutup puluhan tas besar yang tak dapat kuhitung jumlahnya. Berbagai jenis kain dan pakaian bertumpuk tidak karuan.

Tampak pula tumpukan kotak kardus bertuliskan berbagai merek makanan. Kulihat beberapa wanita dan anak-anak bercampur jadi satu di dalam tenda.

Dilihat dari segi apapun, mereka adalah pengungsi. Entah bagaimana, ada rasa pilu yang kurasakan.

Setidaknya mereka tidak berlumuran darah seperti Ayah dan Jonathan. Anehnya, tatapan mereka tidak berbeda dengan para Trops yang memandang kami.

Bahkan kurasakan dengan jelas beberapa dari mereka terlihat sangat jijik menatap kami. Entah itu tatapan kebencian atau kemarahan. Aku tak dapat memahaminya.

Sejak kapan pandangan mereka berubah terhadap kami? Aku tak pernah mendapatkan pandangan semacam itu seumur hidupku.

Mereka terus menatapku dan keluargaku yang berjalan diiringi kawanan berbaju Trops. Ketakutan tampaknya menyebar kuat di sekitar mereka. 

Anak-anak bahkan segera didekap erat oleh wanita dewasa begitu kami berjalan melewati mereka. Suara samar tertangkap telingaku saat mereka berbisik.

"Apakah itu mereka?"

"Kau yakin?"

"Tidak salah lagi. Itu adalah mereka."

"Mereka tampak buruk."

“Aku heran bagaimana mereka begitu bernyali mendatangi tempat ini.”

Perlahan aku memberanikan diri menengok ke sumber suara. Mereka membeku saat menyadari tatapan kami bertemu.

"Ayo jalan!"

Seorang Trops yang mengawalku mendorong tubuhku dengan keras. Aku terhuyung karenanya.

Beruntung, Ayah berhasil menangkapku. Dia menatap Trops itu dengan tajam. Namun, Trops itu mengabaikannya.

Aku melanjutkan perjalanan kami mengikuti Trops paling depan. Entah kemana mereka akan membawaku dan keluargaku.

Sepanjang perjalanan melewati jejeran tenda, hanya tatapan sinis yang kudapatkan. Tidak ada satu pun dari para pengungsi yang tersenyum pada kami.

Kejanggalan ini membuatku tersadar. Mereka semua adalah pribumi. Astaga! Apakah mereka tidak menerima kami? Jadi … kami salah masuk Camp?

Tunggu! Sejak kapan keluargaku dan mereka menjadi sangat berbeda? Ini jelas penindasan batin bagi seseorang seperti keluarga kami.

Selama hampir 20 tahun di usiaku, tidak pernah kurasakan tatapan sedingin itu dari siapapun. Dalam ingatanku, kami hidup disertai keramahan dan kehangatan satu sama lain.

Lingkungan tempatku tinggal bukan hanya kaum seperti keluargaku saja. Banyak pula pribumi yang tinggal di sana.

Keluargaku bahkan berteman baik dengan beberapa dari mereka. Namun, yang kurasakan saat ini sangatlah berbeda.

Tidak ada senyum. Apalagi sapa. Oh …. Kemana perginya keramahan dan kehangatan itu?

Lututku mulai terasa goyah. Rasanya tidak kuat lagi untuk mengikuti perjalanan ini. Kelelahan ini sungguh membunuhku.

Entah berapa lama lagi aku harus berjalan. Aku yakin tempat ini tidak begitu luas. Sepertinya keputusasaan atas pandangan orang sekitar membuatku lebih lemah.

Sementara itu, Trops paling depan itu tidak juga menghentikan langkahnya. Perlahan kuraih lengan Ayah untuk menopang tubuhku.

Beliau tersenyum hangat meskipun peluh memenuhi wajahnya. Jonathan meraih lengan kiriku perlahan. Dia menarik tubuhku ke arahnya.

Lihat selengkapnya