Kenyataan saat ini terlalu tidak masuk akal bagiku. Hanya dalam beberapa hari, duniaku berubah. Keramahan dari tempatku tumbuh tidak kurasakan lagi.
Tidak ada tempat aman bagiku dan keluargaku. Bahkan Camp pengungsian yang kuanggap sebagai tempat paling aman justru sebaliknya.
Masih adakah harapan untuk kami?
Ingatanku masih sangat jelas. Sekitar empat bulan yang lalu, dimana keluargaku sangat antusias menyambut tahun baru.
Aku bersemangat mengikuti Ayah di upacara tahun baru. Ucapan beliau masih terngiang dalam benakku.
Matanya berbinar dan senyumnya tidak dapat kulupakan. Ayah menatapku dan Jonathan secara bergantian.
“Semoga tahun 98 ini membawa keluarga kita pada keberuntungan.”
Kami berdua mengamininya dengan serempak. Jauh di dalam hatiku, aku juga memimpikan hal yang sama.
Doa dan harapanku sangatlah sederhana di tempat ibadah kami saat itu. Hidup menyenangkan bersama keluargaku.
Tidak lupa kumasukkan orang-orang di sekitar lingkunganku dalam doaku. Termasuk, Langit. Sahabat terbaikku.
“Ah .… Langit. Dia pasti baik-baik saja. Tidak mungkin dia terpenjara sepertiku.“
Pikiranku mulai melayang saat kembali tersadar. Larut dalam nostalgia perjalanan persahabatan kami.
Persahabatanku dan Langit bermula sejak aku menginjak usia sepuluh. Langit dan keluarganya datang ke lingkungan kota tempatku tinggal saat itu.
Keluarga Langit menetap bersama beberapa pribumi lainnya. Beberapa dari mereka bahkan sudah menetap sebelum Langit dan keluarganya datang.
Sejauh yang kulihat sepanjang hidupku, tidak pernah sekalipun kami menganggap bahwa kami berbeda. Toh, kami tinggal di Negara yang sama.
Tolong menolong dan menghormati satu sama lain menjadi kebiasaan bagi kami.
Pemberontakan yang terjadi menyadarkanku tentang berbagai hal. Jiwa manusia tidak seutuhnya menerima perbedaan. Mengapa harus demikian?
Ah … seharusnya aku mengambil jurusan Antropologi kala itu. Sekarang sudah terlambat.
Permasalahannya adalah, dapatkah aku kembali ke kampus lagi? Ah … aku mulai merindukannya.
Mataku mulai terlelap saat aku menyadari seseorang berjalan mendekati tendaku. Perlahan aku membuka mataku kembali.
Aku harus tetap waspada. Hanya itu yang dapat kupikirkan.
Ayah dan Ibu pasti mengatakan hal yang sama jika mereka berada dekat denganku. Jonathan pasti akan lebih cerewet dari biasanya.
“Fajar, kau kembali? Tidak seharusnya kau berada disini.”
“Hum .… Tidak masalah bagiku.”
“Ayahmu akan menghukum kami. Tolong kembali saja, Fajar.”
“Aku akan bertanggung jawab. Kalian boleh pergi. Aku bisa menjaganya sendiri.”
“Fajar … tolong dengarkan komandan kami. Tony sangat mengerikan jika sudah marah.”
“Tenang saja. Aku sudah mendapat ijin dari beliau.”
“Ah …. Begitukah?”
“Hum … kalian bisa istirahat sekarang. Aku akan tetap di sini.”
“Kalau begitu … kami akan berjaga bergantian.”
“Yah … terserah kalian saja.”
Beberapa Trops terdengar berjalan menjauh dari tendaku. Beberapa diantaranya, tetap berdiri di depan tendaku.
Suara dari dalam tenda terdengar sangat jelas. Namun, aku tidak mengenali suara siapapun, kecuali Fajar.
Meskipun ketakutanku lebih besar, anehnya terasa lega mendengar suara lelaki berambut ikal itu.
Kurasakan lelaki itu mendekat ke dalam tendaku. Dia melemparkan sebungkus roti ke arahku.
Tubuhku terperanjat saat menyadarinya. Tatapanku tidak terlepas dari bungkusan itu.
Tenggorokanku tercekat melihatnya. Kelaparanku menggelora dalam perutku. Aku bahkan tidak menyadari jika Fajar bergegas keluar dari tendaku.
Perlahan aku meraih bungkusan itu. Dengan cepat aku membukanya. Tidak pernah kurasakan roti sobek seenak ini.
Mulutku fokus mengunyah dan menghabiskan roti sobek itu dengan cepat. Oh … Tuhan! Ini terasa nikmat sekali.