Dingin yang kurasakan seolah menusuk tulangku. Kepalaku terasa berat. Kuraih apapun yang dapat menghangatkan tubuhku.
Meskipun dengan mata terpejam, aku merasakan tanganku meraih kain yang menyelimuti separuh tubuhku. Terasa hangat saat kain itu berhasil menyelimuti tubuhku sampai ke leherku.
Ah … ini terasa nyaman. Aku mencoba terlelap kembali dalam tidurku. Tapi … ada yang mengganjal pikiranku. Tunggu!
Perlahan kucoba membuka mataku. Plafon berwarna kekuningan menjadi pemandangan pertama yang kulihat.
Lenganku telah tertancap selang infus. Kulihat itu menjalar menuju ke botol infus di sebelah ranjangku.
Tubuhku tertutup selimut tipis. Bajuku berganti menjadi serba hitam.
Perlahan kuarahkan tanganku pada kepalaku. Kurasakan sebuah perban membebat erat melingkari kepalaku.
“Argh … ini membuat kepalaku terasa tegang.”
Dalam benakku aku bergumam pelan. Terlebih saat aku mencoba bangun dari ranjang.
Mataku tertuju pada seseorang yang menatapku di dekat pintu. Seorang … Trops?
Itu artinya … aku gagal kabur dari Camp? Lalu, kemana perginya komplotan yang membawaku? Kemana lelaki bermata hijau itu?
Kulihat Trops bergegas bangkit dari kursinya. Sepertinya dia menyadari bahwa diriku telah terbangun dari ranjang.
"Oh … kau sudah sadar, Ivanka muda?"
Trops itu mendekat padaku. Namun aku tidak menjawabnya. Tubuhku hampir membeku ketika dia mendekat.
"Hey ... jaga di sini. Aku harus melapor pada komandan."
Trops itu meminta temannya di luar bergantian menjagaku. Aku tetap terdiam dan menundukkan pandanganku.
Ketakutanku masih sama. Bahkan setelah kejadian semalam. Sebenarnya dari siapa aku mencoba berlari?
Beberapa saat kemudian, terdengar beberapa langkah berlari mendekat. Aku segera berbaring kembali. Berpura-pura tertidur dengan memejamkan mataku.
Aku yakin mereka lebih dari lima Trops. Membayangkan mereka mendekat membuatku mencengkeram selimut tipis di tubuhku.
Kudengar langkah mereka berhenti di dekat pintu. Dapat kurasakan satu orang mendekatiku. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Oh, Tuhaan ... aku tidak ingin berakhir di tempat ini."
Aku mulai bergumam dalam benakku. Berbagai doa aku rapalkan dalam hati.
"Kau bilang dia terbangun?"
Oh … tunggu! Aku mengenal suaranya. Ini aneh. Hatiku sedikit lega mendengar suaranya.
"Aah ... petugas ini yang melihatnya terbangun, Fajar."
"Hum ... aku mengerti. Panggil dokter yang merawatnya."
"Baik, Fajar."
Kurasakan Fajar membelai keningku perlahan. Tubuhku merinding seketika itu.
"Bukalah matamu. Hanya ada aku di sini."
Perlahan kuberanikan diri untuk membuka mataku. Kulihat tatapannya berubah dari sebelumnya.
Fajar tampak lebih lembut kali ini. Dia bahkan tidak memakai penutup wajahnya. Aku dapat membaca seluruh ekspresinya dengan mudah karenanya.
Ah! Hampir saja aku luluh dengan tatapannya. Sisi dari dirinya saat ini membuat hatiku berdebar. Entah mengapa ... itu berdebar dengan sangat berbeda.
Tidak! Aku bisa dapat masalah! Namun, kulihat Fajar tampak mengkhawatirkanku.
Apakah aku salah? Sungguh aneh. Air mataku bahkan menetes dengan sendirinya saat melihat ekspresinya.
Oh, tidaak …!!! Seandainya saja lelaki ini adalah Jonathan, atau … Langit. Pasti aku sudah memeluknya.
Segera kuseka air mataku dengan ujung jariku diam-diam. Berharap dia tidak menyadarinya.
Perlahan, aku mencoba bangkit dari tempat tidurku. Fajar membantuku bangkit. Anehnya, dia tidak mengalihkan pandangannya dariku.