Langit Fajar Ujung Senja

Susanti
Chapter #12

Bagian 12

Langit menggaruk kepalanya sembari menggeleng dengan pelan. Kemudian menghiraukan ucapan Fajar padanya.

Tatapan Langit padaku lebih lembut dari sebelumnya. Senyum kecil di bibirnya membuatku merasa lebih tenang.

“Kua pasti sangat terguncang. Maafkan aku, Senja. Seharusnya aku datang lebih cepat.”

“Hum … itu bukan salahmu, Langit. Ah … apakah kau bertemu orang tuaku? Atau … Jonathan? Aku dengar mereka membawanya.”

Langit menarik napasnya dalam-dalam. Kulihat kegelisahan tergambar di wajahnya.

“Tidak apa-apa. Katakan padaku, Langit. Kau mengetahui sesuatu bukan?”

“Entahlah, Senja …. Aku tidak yakin. Terakhir kali aku bertemu Ayah dan Ibumu … mereka tampak baik-baik saja.”

“Ah … syukurlah. Aku senang mendengarnya. Kapan kau menemuinya?”

“Sehari sebelum mereka membawa Jonathan. Mereka berada di ruang yang berbeda. Jadi … sulit bagiku untuk mengawasi mereka.”

“Kau bukan bagian dari Trops, Langit. Kau tidak perlu mengawasi mereka.”

“Maafkan aku soal Jonathan.”

Langit menatapku lebih dalam. Tatapan matanya yang teduh menghapus kecemasanku.

“Itu bukan salahmu. Berhenti minta maaf.”

“Tetap saja. Kau pasti mengkhawatirkannya.”

“Hum ... kau tahu siapa yang membawanya? “

“Entahlaah ... aku belum mendapatkan petunjuk apapun.”

“Aku mengerti. Sepertinya ... mereka juga menargetkanku.”

“Aku tahu. Aku senang kau baik-baik saja.”

Langit bergumam pelan dan terdiam setelahnya. Aku menunggunya menanyakan detail yang lebih lanjut.

Namun, dia justru mengalihkan pembicaraan.

“Kau ingin makan sesuatu? Aku bisa mengatakan pada mereka kalau ...”

“Tunggu! Kau sungguh ingin menanyakan hal itu?”

“Apa maksudmu? Kau pasti lapar, bukan?”

“Langit … bukan itu yang penting saat ini.”

Memahami kata demi kata dari sahabatmu sendiri terasa lebih mudah dibanding dengan orang asing. Itulah yang kurasakan saat ini.

Lebih mudah membaca pikiran Langit dari pada Fajar. Perasaan itu sangat menyenangkan bagiku.

Kulihat Langit tampak larut dalam ucapanku sebelumnya. Dia menutupinya dengan baik. Hal itu membuatku berpura-pura tidak memahaminya.

“Umm …. Aku tidak tahu kau berteman dengan Fajar. Maksudku ... kalian ... tampak dekat.”

“Tunggu! Bukan Tony muda, tapi … Fajar? Kau tahu namanya?”

Langit menunjukkan telunjuknya pada Fajar. Lelaki itu masih berdiri dalam diam. Tubuhnya bersandar pada dinding di depan pintu.

“Tentu saja! Dia anaknya pemimpin Trops. Para Trops sering menyebut namanya.”

“Ah …. Kami dulu tinggal di lingkungan yang sama.”

“Begitukah?”

“Hum ... aku lebih dekat adiknya. Kami seumuran.”

“Kau tidak pernah menceritakannya padaku.“

“Aku pernah mengenalkan adiknya padamu. Kau tidak ingat?”

“Oh ya? Kapan lebih tepatnya?”

“Hum ... saat pendaftaran masuk SMA. Kau bahkan memujinya saat itu. Kau sangat mengagumi matanya.”

“Aaah … benar juga. Lelaki dengan mata hijau itu. Jaffar? Itukah namanya?”

“Benar sekali. Aku pikir kau menyukainya saat itu.”

“Mungkin saja, hahaa ... Dan, oh ... aku rasa aku bertemu dengannya lagi.“

Lihat selengkapnya